Sabtu, 31 Agustus 2013

Asal Mula Pelacuran Di Jakarta


Asal Muasal Sejarah Pelacuran di Jakarta

Sebelumnya kita sudah pernah membahas Sejarah pelacuran di Indonesia yang kami dapat dari sebuah blog, penulisan yang sangat didasari oleh sumber yang jelas. Sekarang kami akan membahas Asal mula pelacuran di Jakarta yang menurut kami sangat banyak orang yang ingin mengetahui kejelasan dari asal mula pelacuran tersebut.
Praktik pelacuran diperkirakan sudah ada sejak VOC menguasai Batavia abad ke 17. Awalnya masyarakat Betawi menyebut pelacur dengan sebutan cabo. Kata ini berasal dari bahasa China Caibo yang kurang lebih berarti wanita malam. Awalnya memang praktik pelacuran banyak dijalankan oleh pendatang dari Tionghoa.

Lokalisasi pertama bernama Macao Po. Lokasinya di dekat Stasiun Kota, Jakarta. Ketika itu, pusat niaga dan keramaian memang berpusat di wilayah yang kita kenal sebagai kawasan Kota Tua. Macao Po ini merupakan lokalisasi kelas atas. Pengunjungnya adalah pejabat VOC yang memang doyan main wanita dan korupsi.

Selain itu para saudagar Tionghoa pun kerap mampir ke sana. Pelacur di Macao Po khusus didatangkan dari Makau atau Macao. Mungkin dari sinilah nama lokalisasi itu berasal. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakarta tahun 2005.
www.anehdidunia.com

Untuk lokalisasi kelas bawah, ada di kawasan Glodok. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Macao Po. Letaknya ada di Gang Mangga. Para pelacur di sini beragam, mulai dari Indo, pribumi, hingga Tionghoa. Karena murah, maka pelayanan kesehatannya pun tidak terjamin. Penyakit sipilis pun menyebar hingga pada abad ke 19, penyakit sipilis juga disebut sebagai penyakit Gang Mangga.

Tapi kemudian lokalisasi Gang Mangga tersaingi dengan rumah-rumah bordil yang didirikan orang Tionghoa. Rumah-rumah bordil ini dinamakan Soehian. Tapi awal abad ke-20, lokalisasi ini ditutup karena kerap mengundang keributan.

Setelah Indonesia merdeka, pelacuran masih menjamur di Jakarta. Pusat-pusat lokalisasi yang terkenal antara lain di Gang Hauber di kawasan Petojo, Jakarta Pusat. Wali Kota Sudiro mengganti nama Gang Hauber menjadi Gang Sadar untuk mengubah citra lokalisasi ini pada pertengahan 1950-an. Tapi praktik pelacuran masih berlangsung hingga era 1980-an.

Tahun 1960-an ada lokalisasi Kaligot di Mangga Besar. Lalu Planet, di kawasan Senen Jakarta Pusat. Sementara lokalisasi kelas bawah memanjang dari Stasiun Senen sampai Gunung Sahari. Para pelacur bertarif murah ini melayani pria hidung belang di gubuk-gubuk kardus sepanjang rel kereta. Gerbong kosong pun jadi tempat esek-esek.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin kemudian menggusur tempat pelacuran ini. Semuanya dilokalisir di Kawasan Lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Langkah Bang Ali yang seperti melegalkan pelacuran ini ditentang banyak pihak. Tapi Bang Ali cuek saja. Dia mengaku lebih baik melokalisir pelacur agar mudah dibina daripada melihat pelacur berkeliaran tanpa pengawasan.

Pada periode 1970-1980an, luas Kramat Tunggak mencapai 12 hektar. Jumlah pelacur mencapai 2.000 orang. Kebanyakan berasal dari wilayah Pantura seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. Lokalisasi ini dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara.

Tahun 1999, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso membubarkan Kramat Tunggak. Bang Yos mengubah lokalisasi ini menjadi Islamic Center. Tapi bukan berarti masalah pelacuran selesai. Para wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Sebagian menyaru sebagai pemijat atau pemandu lagu. Saat Jakarta gelap mereka melenggok di atas aspal. Menukar cinta dengan lembaran rupiah. Pelacuran tak akan mati. Hanya berpindah tempat.

Banyak faktor yang mendorong orang terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis. Faktor ekonomi, kebutuhan hidup semakin banyak dan dan mendesak, namun tidak dapat dipenuhi akibat tidak ada sumber penghasilan. Oleh karena itu melakukan pelacuran dianggap sebagai solusi yang instan. Faktor sosiologis, merujuk pada perkembangan dan perubuhan sosial-budaya yang begitu cepat, ikatan sosial yang renggang, dan masyarakat bersifat pragmatis, nilai-nilai sosial mengendor. Banyak anggota masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, mereka teralienasi dari masyarakatnya. Pelacuran dipandang sebagai jalan keluar dari alienasi tersebut. Faktor psikologis, kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, moralitas yang rendah dan kurang berkembang sehingga tidak dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh, menjadi sebab-sebab timbulnya pelacuran.

17 Mei 1912, Batavia heboh. Sesosok mayat wanita muda ditemukan mengapung di Kalibaru. Mayat gadis indo itu terbungkus dalam karung dan tersangkut pintu air. Masyarakat makin heboh saat mengetahui siapa yang tewas. Namanya Fientje de Feniks, seorang pelacur yang kerap dikunjungi para pembesar dan orang kaya. Untuk ukuran saat itu, Fientje jadi idola. Wajahnya campuran Indonesia dan Eropa. Matanya besar dengan hidung mancung dan bibir sensual. Rambutnya panjang, hitam dan berombak. Saat tewas usianya belum lagi 20 tahun.

Sehari-hari, Fientje tinggal di rumah pelacuran milik Umar. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta tahun 2005. Tewasnya Fientje menjadi fokus pemberitaan koran-koran saat itu. Masyarakat penasaran dengan setiap perkembangan terbaru kasus Fientje. Komandan Polisi Batavia, Komisaris Reumpol menangani kasus ini. Reumpol memeriksa setiap saksi dengan teliti. Akhirnya dia menemukan titik terang ketika seorang pelacur teman Fientje bersaksi. Pelacur itu bernama Raonah, dia melihat langsung seorang pria bernama Gemser Brinkman mencekik Fientje dari sela-sela bilik bambu.

Brinkman bukan orang sembarangan. Dia cukup punya pengaruh di Batavia saat itu. Brinkman juga anggota Sociteit Concordia yang beranggotakan pembesar-pembesar Belanda. Wartawan Senior Rosihan Anwar menulis soal sidang Brinkman ini. Raonah sempat dituding berbohong dan memberikan keterangan palsu oleh pengacara Brinkman. Pengadilan bahkan sempat mengirim tim untuk mengecek tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di lokalisasi milik Umar.

Raonah bersikeras pada pendapatnya. Dengan yakin dia berkata pada ketua majelis hakim. "Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut. Tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itu yang melakukan pembunuhan," ujar Raonah. Pengadilan akhirnya mengganjar Brinkman dengan hukuman mati. Awalnya Brinkman yakin eksekusi tidak akan jadi dilakukan. Dia berfikir tidak mungkin seorang kulit putih terhormat seperti dirinya dihukum mati hanya karena membunuh pelacur indo. Dia juga percaya pengaruh teman-temannya di Sociteit Concordia  akan membantu memperingan hukumannya. Tapi Brinkman salah, pengadilan tetap berniat mengeksekusinya. Dia pun stres, dan berteriak-teriak terus dalam selnya. Akhirnya Brinkman bunuh diri dalam sel.

Ada beberapa versi soal pembunuhan ini. Ada yang mengatakan Brinkman sebenarnya tidak membunuh Fientje saat itu juga. Tetapi dia menyuruh algojo bernama Silun bersama dua anak buahnya. Silun yang akhirnya mencekik Fientje hingga tewas. Sial bagi Silun, Brinkman belum membayarnya lunas. Dia baru dibayar persekot atau uang mukanya saja. Brinkman keburu tewas saat Silun ditangkap.

Mengenai motif pun berbeda-beda. Sebagian pihak meyakini Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Dia sebenarnya sudah ingin menjadikan Fientje sebagai gundik, namun ternyata Fientje masih juga melayani laki-laki lain. Kisah soal Fientje ini juga ditulis dalam Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Di buku 'Rumah kaca', Pram juga memasukan kisah soal pembunuhan ini. Namun Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo.
       
Rientje De FENIKS VERSI Lain
Nah, di Kalibaru inilah pada 17 Mei 1912 terjadi peristiwa yang bikin heboh. Mayat perempuan muda indo ditemukan terapung di Kalibaru. Mayat itu terbungkus dalam karung dan tersangkut di pintu air. Maka peristiwa itu pun langsung menyebar ke penduduk di pelosok Batavia. Tak ketinggalan tambahan cerita berbumbu seks dan kekerasan. Usut punya usut ternyata perempuan indo ini pekerja seks dan menghuni sebuah rumah pelacuran  yang dimiliki germo bernama Umar.

Jakarta Tempo Doleo terbitan tahun 1972 mengisahkan, Komisaris Kepala Batavia Toen Ruempol kelabakan memecahkan misteri mayat dalam karung ini.  Hasil visum menunjukkan mayat perempuan indo ini tewas dicekik. Kemudian diketahui pula nama si perempuan ini, Fientje De Feniks. Sang germo tak luput diperiksa Reumpol. Dari mulut Umar terluncurlah nama seorang tuan besar bernama Gemser Brinkman. Brinkman beken di kalangan orang-orang  Belanda yang tergabung dalam Societet Concordia di Gedung Harmonie, pasalnya meneer ini memang anggota sositet ini.

Brinkman tak bisa berkutik manakala Umar menunjuk hidungnya. Tak salah lagi, Brinkman memang pelanggan Fientje. Hal ini diperkuat dengan kesaksian rekan sejawat Fientje, Raonah. "Saya melihat sendiri bagaimana meneer Brinkman membunuh Fientje," begitu kira-kira ucap Raonah. Kala peristiwa itu terjadi ia sedang berada di belakang tempat pelacuran Umar dan mendengar suara gaduh. "Lantas saya intip," lanjutnya, dari balik celah pohon bambu. Dari celah itulah ia menyaksikan Brinkman mencekik Fientje hingga tewas.

Pengadilan memutuskan si meneer bersalah dengan ancaman hukuman mati. Akhirnya karena panik, Brinkman pun buka suara. Namun sayang, suaranya tak mempan di hadapan pengadilan. Kabar yang menyebar di kalangan penduduk, ia menggunakan algojo dari kalangan penduduk pribumi. Brinkman menyuruh Pak Silun, salah seorang algojo, untuk mengambil nyawa Fientje. Silun bersama dua anak buahnya menjalankan tugas. Silun kemudian menyesal karena baru terima persekot, sisa pembayaran tak mungkin diberikan lantaran Brinkman keburu dihukum mati. Bukan cuma tak ada lagi pembayaran, Silun juga masuk bui. Sayang tak dikisahkan bagaimana nasib Silun, dihukum seumur hidup atau dihukum mati.

Mengangkat tema pelacuran mungkin kurang sopan namun segala sisi hitam dan putih dunia akan kami angkat di blog ini. Tetaplah melihat segala sesuatu dari segi positif. Semoga artikel ini berguna bagi anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar