Rabu, 10 Juli 2013

Armageddon


Mari kita belajar dari Nabi Ibrahim, bapak para Anbiya, tentang fenomena alam semesta. Dalam pencarianya tentang hakekat “Sang Pencipnya” , Ibrahim menelusuri jejak alam yang kasat mata.

Pertama-tama, jelas ia menolak penyembahan terhadap “berhala” yang dilakukan masyarakat zaman itu, termasuk oleh bapaknya sendiri. Ia merasa itu perbuatan yang amat bodoh, karena berhala tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari kelapukan kerusakkan. Bagaimana “zat” menyelamatkan manusia?

Selanjutnya, Ibrahim memperhatikan tanda-tanda alam di langit dan di bumi. Ketika malam gelap gulita, Ibrahim menyaksikan bintang yang cemerlang. Spontan ia berucap “Inilah Tuhanku” , yang memberi terang di tengah kegelapan. Tapi, ternyata bintang tergelam , dan Ibrahimpun kecewa.

Tiba-tiba bulan muncul dengan indahnya, purnama mencorong. Seketika itu Ibrahim berujar “Inilah Tuhanku” , karena cahayanya yang lebih terang. Ibrahim tidak menyadari, karena ilmu astronomi belum terbelakukan saat itu, bahwa cahaya bintang sebenarnya lebih kuat daripada cahaya bulan yang merupakan satelit bumi. Namun, letak bintang yang jauh pelosok alam semesta membuat terlihat kecil. Bintangpun redup menjelang fajar, Ibrahim tambah kecewa.

Setelah ayam berkokok – afwan, kokok ayam zaman dulu apa juga “ku-ku-ru-yuk” ya? – terbitlah matahari yang bersinar menyilaukan. Ibrahimpun segera berkata, “Inilah Tuhanku” , yang paling terang sinarnya. Dan, memang matahari bersinar di daerah khatulistiwa lebih panjang dari edar bintang dan bulan. Sekitar 12 jam Ibrahim bermandikan cahaya mentari, sebelum akhirnya tenggelam di waktu Maghrib. Ibrahim kembali kecewa.

Di puncak kekecewaanya itu, Ibrahim mendapatkan kesimpulan yang mencerahkan “Eureka” (sudah kutemukan), seperti ucapan Archimedes yang menemukan hokum gaya berat (hidristatik), ketika berendam di bak air. Ibrahim kini menyadari, bahwa “Zat Yang Maha Agung” berada di balik semua fenomena alam. Bintang, bulan, dan matahari bersinar terang digerakkan oleh “Dia Yang Maha Menggerakkan”

Episode Ibrahim waktu muda itu mengungkapkan, sebelum diangkat sebagai Nabi dan kemudian menjadi “Abul Anbiya” ia telah mengerahkan potensi akalnya secara optimal.

Salah satu syarat penting seorang Nabi ialah “Fathanah” (smart alias cerdas). Itu juga syarat seorang pemimpin. Karena itu, orang-orang yang tenggelam dengan ramalam mistik dan klenik dibalik konfigurasi bintang dan peredaran benda alam, berarti melecehkan kemampuan akalnya sendiri. Mereka tika mampu menarik hikmah dibalik fenomena. Kondisinya lebih parah dari Mpok Oneng yang dikenal “O’on”

Sohib muda, saya terkenang kembali dengan kisah Ibrahin itu, ketika anak paman yang pertama – lelaki, kelas VI Sekolah Dasar – membeli buku pertama dari hasil tabunganya sendiri. Selama ini sih, ibunya anak-anak yang membelikan buku cerita atau pelajaran sekolah. Buku itu berjudul “Armageddon” (karangan Ir.Wahyu Sasongko dari kota Malang, Jawa Timur).

Kamu tahu apa itu “Armageddon”? Itulah perang di akhir zaman antara kaum Muslimin dengan kaum yang ingkar kepada Allah, terutama kaum Yahudi. Suatu masa nanti, kaum Muslimin akan bertemu kembali dengan Nabi Isa al Masih, yang memimpin perang melawan Dajjal bermata satu dengan pasukanya yang berteknologi canggih.

Di tengah pertempuran sengit itu, Isa versus Dajjal, jatuhlah asteroid besar dari angkasa raya ke muka bumi. Benda ciptaan Allah itu menghancurkan pasukan kufar, dan menanglah kaum Muslimin yang mewarisi ajaran Tauhid dari Nabi Ibrahim.

Saya tercenung membaca buku itu, fenomena sejarah yang belum pernah terjadi, tapi ‘pasti” akan terjadi. Karena disebutkan dalam Hadist yang shahih. Saya mengerti sekarang,mengapa Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang ingkar, berlomba-lomba mengembangkan senjata nuklir dan teknologi ruang angkasa. Rupanya, mereka bersiap menghadapi “takdir Allah” akan turunya asteroid besar.

Tragis, mereka takut sama asterois besar. Tapi tidak beriman kepada “azab Ilahi”. Ternyata, negara besar berteknologi canggih bisa “O’on” juga yak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar