Di dalam gua, tim peneliti menemukan sebuah tong fermentasi dalam ukuran besar (dengan kedalaman 60 cm) terkubur di sisi baskom tanah liat dengan diameter satu meter yang biasa digunakan untuk menginjak-injak anggur. Selain itu mereka juga menemukan gelas-gelas anggur, buah, kulit, dan biji anggur yang sudah layu. Di gua yang sama pada Juni 2010 ditemukan sepatu kulit pertama di dunia yang diperkirakan berusia 5500 tahun.
“Ini bukti paling awal dan paling bisa diandalkan tentang (proses) produksi anggur. Untuk kali pertama, kita memperoleh gambaran arkeologis lengkap tentang (proses) produksi anggur dari 6100 tahun lalu,” kata Gregory Areshian, wakil ketua penggalian yang juga Asisten Direktur Cotsen Institute of Archaeology UCLA.
Sebelumnya, pada 1963, para arkeolog menemukan sebuah tempat penyulingan anggur kuno di West Bank, Palestina. Tempat itu diperkirakan dibangun pada 1650 SM. Sementara pada 1996, tim arkeolog yang dipimpin Patrick E. McGovern, ahli kimia arkeologi dari Museum University of Pennsylvania, menemukan sisa-sisa anggur berusia 7400 tahun di desa Neolitik Hajji Firuz, di pegunungan Zagros bagian Utara Iran. “Namun saat itu, kami hanya mengetahui jumlah kendi anggurnya.
Temuan terbaru ini adalah tempat penyulingan anggur tertua yang pernah ditemukan,” ujar McGovern.
Untuk menguji apakah tong dan kendi di gua Areni-1 digunakan untuk menampung anggur, anggota tim menganalisis pecahannya dan menemukan pigmen tumbuhan yang disebut malvidin. Maldivin biasanya menyebabkan warna merah pada anggur dan buah delima.
“Malvidin adalah indikator kimiawi terbaik dari keberadaan anggur yang kami ketahui. Karena tak ada sisa-sisa buah delima di area penggalian, kami yakin tong itu digunakan untuk menampung sesuatu yang dibuat dari sari buah anggur,” kata Areshian.
Tempat penyulingan anggur itu diperkirakan memproduksi anggur untuk tujuan ritual. Di dekat gua ditemukan setidaknya 20 makam dengan delapan jenazah, termasuk seorang anak, seorang perempuan, dan tulang-belulang seorang laki-laki tua. Dalam sebuah bejana keramik ditemukan juga tengkorak tiga remaja. Di dalam dan di dekat kuburan ditemukan gelas-gelas minuman. Menurut Areshian, bisa jadi anggur diminum untuk menghormati atau menenangkan arwah, atau dipercikkan pada makam-makam itu.
Gua yang memiliki beberapa ruangan itu diperkirakan dipakai untuk ritual bagi orang-orang dengan status sosial tinggi. Para arkeolog menemukan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almond.
Menurut Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University yang tak terlibat dalam tim itu, saat itu industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecendrungan orang untuk membuat perbedaan sosial. “Ritual, dalam hal ini, tak hanya menjadi cara untuk memuja para dewa. Orang-orang yang terlibat di dalamnya juga menjadi orang-orang istimewa,” ujar Rothman.
Menurut The New York Times, temuan tempat penyulingan anggur dan artefak lain dalam gua yang sama memberikan gambaran cukup lengkap tentang kehidupan manusia di Zaman Perunggu –disebut juga masa Calcolithic– ketika manusia mulai menciptakan roda, beternak kuda, serta membuat alat-alat dari logam dan batu.
Menurut Areshian, penemuan ini menjadi penting karena menunjukkan inovasi sosial dan teknologi yang amat berarti bagi kalangan masyarakat prasejarah. Bentuk pertanian baru, yang jauh lebih canggih dari sebelumnya, terlihat dalam proses penanaman anggur.
“Masyarakat saat itu harus mempelajari dan memahami siklus pertumbuhan tanaman anggur. Mereka juga harus memahami seberapa banyak air yang diperlukan bagi tanaman, bagaimana mencegah jamur yang dapat merusak panen, dan bagaimana menangani lalat yang biasanya hidup di buah anggur,” ujar Areshian.
Areshian menambahkan, penemuan ini memberi informasi berharga tentang fase paling awal holtikultura (seni berkebun) di dunia –tentang bagaimana masyarakat masa itu membuat kebun buah dan anggur untuk kali pertama.
“Dari perspektif ilmu gizi dan kuliner, proses pembuatan anggur menambah persediaan makanan, dengan memproses anggur liar yang asam dan sebelumnya tak bisa dimakan,” ujar Naomi Miller, arkeolog University of Pennsylvania.
“Dari perspektif sosial, baik atau buruk, minuman beralkohol mengubah cara kita berinteraksi di dalam masyarakat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar