Sabtu, 27 April 2013

Misteri Sang Rubah Berekor 9


Korea - Gumiho merupakan rubah dengan sembilan ekor, dongeng yang diciptakan berasal dari mitos China kuno berabad2 lalu. Dongeng ini ada versi China maupun Jepang meskipun terdapat sedikit perbedaan. Huli jing pada dongeng China dan kitsune pada dongeng Jepang mempunyai moral yang ambigu, dimana mereka bisa bersifat baik dan buruk sekaligus dan biasanya tidak keluar untuk mencari orang untuk diburu. Sementara itu, gumiho di Korea, hampir selalu digambarkan dengan figur yang sangat jahat, makhluk karnivora yang memakan daging manusia.

Berdasarkan legenda, rubah yang hidup ribuan tahun berubah menjadi gumiho, yang dapat menyamar menjadi wanita. Gumiho bersifat jahat dan makan hati atau jantung manusia (ada legenda berbeda antara satu dengan lainnya) agar bisa tetap hidup. Huli jing di China dikatakan terbuat dari energi wanita (yin) dan membutuhkan energi pria (yang) agar bisa bertahan hidup. Sementara itu, kitsune di Jepang bisa pria atau wanita, dan dapat memilih untuk berbuat kebaikan.

Gumiho di Korea secara tradisional merupakan wanita. Beberapa dapat menyembunyikan ciri gumiho mereka, sementara mitos lain mengindikasikan bahwa mereka tidak dapat bertransformasi secara penuh (contoh wajah atau telinga yang seperti rubah atau masih terdapat ekor berjumlah sembilan). Dengan kata lain, biasanya ada setidaknya satu ciri fisik yang dapat membuktikan bentuk gumiho mereka, atau cara ajaib untuk memaksa mereka memperlihatkan wujud asli mereka.

Sama seperti manusia serigala ataupun vampir di Barat, ada beragam mitos tergantung dari legenda yang diceritakan. Beberapa cerita mengatakan bahwa jika gumiho tidak membunuh dan memakan manusia selama seribu hari, maka gumiho akan menjadi manusia. Cerita lainnya, seperti drama Gumiho: Tale of the Fox’s Child, mengatakan bahwa gumiho bisa menjadi manusia jika pria yang melihat wujud aslinya merahasiakan hal tersebut selama 10 tahun. Di luar setiap cerita itu, ada hal yang selalu konsisten diceritakan, yaitu bahwa gumiho merupakan rubah, wanita, berubah wujud, dan karnivora.

Sekarang kita bahas tentang arti gumiho dalam budaya. Rubah merupakan gambaran umum di banyak budaya berbeda yang menggambarkan penipu atau pintar tapi jahat yang mencuri atau mengecoh yang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Orang yang tumbuh dengan mendengarkan fabel Aesop mengetahui pengulangan klasik tentang rubah dalam cerita dongeng. Dan tidak sulit untuk melihat bagaimana rubah mendapatkan sifat tersebut. Binatang ini merupakan pemburu nocturnal dan sifat dasarnya yang senang mencuri, dan dikenal di seluruh dunia dengan akal liciknya.

Di Korea, rubah mempunyai penyokong implikasi budaya, yaitu kelicikan seksual. Kata untuk rubah, yeo-woo, merupakan kata yang oleh orang Korea diberikan kepada wanita yang terjemahan kasarnya kita sebut saja si licik pemakan pria. Ada istilah bahasa inggris yang juga kurang lebih sama yaitu “you sly fox” (kamu rubah licik), meskipun di Korea sendiri istilah ini hanya diberikan kepada perempuan yang sifatnya seperti rubah (disebut yeo-woo) dan mempunyai sifat predator “kamu mulai menggunakan akal licik untuk menipuku”, yah kira-kira seperti itulah contohnya. Wanita yang menggunakan pesona femininnya untuk maksud jahat atau wanita yang secara terang-terangan memperlihatkan seksualitasnya dengan motif jahat dibelakangnya, disebut yeo-woo. Menariknya, kata aktris dalam bahasa Korea bila disingkat sama penulisannya dengan yeo-woo .

Bukanlah tanpa sebab kalau wujud gumiho hanya merupakan wanita yang cantik. Ini merupakan cara dongeng untuk memperingatkan pria untuk tidak jatuh ke dalam trik wanita yang merayu untuk memperdayainya. Contohnya, lihatlah terjemahan cerita gumiho klasik ini. Dalam banyak cerita, sang pahlawan dalam dongeng (selalu digambarkan seorang pria) harus menahan godaan dan tubuh tanpa busana gumiho, sehingga wujud aslinya bisa diperlihatkan. Jadi, sifat alami wanita, seksualitas tersembunyinya = iblis.


Dongeng Korea?

Konsep seksualitas wanita yang membahayakan sebenarnya bukanlah hal yang baru untuk dongeng. Tetapi, tidaklah berlebihan bahwa baik itu figur gumiho dan penggunaan yeo-woo merupakan hal yang cukup lazim dalam budaya modern maupun cerita fiksi. Sebagian besar orang mungkin berpendapat bahwa mitos gumiho merupakan cerita yang didesain untuk mempertegas sistem patrialis. Tetapi hal ini justru membuat suatu legenda menjadi suatu hal yang cerdik dalam penyampaiannya.

Dalam film ataupun drama, gumiho bisa digambarkan baik itu figur yang menakutkan dan sejahat iblis atau malah figur yang komikal dan menggelikan, tergantung dari genre yang digunakan. Seiring berjalannya waktu, legenda gumiho telah berubah, seperti diceritakan dalam Gumiho: Tale of the Fox’s Child‘s yang menggambarkan gumiho yang menderita dengan jiwa yang baik yang menginginkan menjadi manusia dan menyerap kehidupan pria. Dia adalah iblis yang memilih jalan hidup yang baik supaya bisa mempertahankan sifat manusianya. Interpretasi ini hampir sama dengan mitos vampir yang mempunyai jiwa, yang berperang dengan jiwa iblis yang ada pada dirinya.

Tetapi satu hal yang menarik untuk digarisbawahi dalam drama tersebut adalah bahwa anak tersebut, begitu dia bertambah dewasa, berubah menjadi gumiho dengan segala sifatnya dan berjuang melawan sisi iblis dalam dirinya. Hal ini mungkin bisa disejajarkan dengan seorang gadis yang tumbuh dewasa dan mengalami perkembangan seksual, dan bagaimana mitos ini hanya memperlihatkan sisi jahat dari seksualitas wanita sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol dan iblis yang bahkan menimpa gadis yang tidak berdosa. Dalam drama ini maupun dongeng yang menceritakan tentang gumiho, sepertinya penggambaran gumiho merendahkan seksualitas wanita sebagai sesuatu yang bersifat iblis dan menunjukkan sifat karnivoranya terhadap pria.


sumber:http://viva.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar