VIVAnews - Sebuah studi kontroversial Journal of Religion and Health, menyatakan terdapat hubungan antara kepercayaan pada amarah Tuhan dan penyakit mental.
Studi ini juga menyatakan orang-orang mempercayai kemarahan Tuhan atau dewa menampilkan tingkat gangguan mental yang lebih tinggi, seperti disfungsi sosial, paranoid penyakit gila karena ketakutan, obsesi dan paksaan, semua hal yang terkait dengan kecemasan.
Berdasarkan laporan The Examiner, Softpedia melansir, kesimpulan itu didapat oleh Profesor Nava Silton dari Marymount Manhattan College dan rekan-rekannya, setelah menganalisis data riset yang terkumpul dalam Baylor Religion Survey of US Adults tahun 2010.
Dalam penelitiannya, Profesor Nava Silton memfokuskan pada tiga kategori dari keyakinan orang, yaitu orang meyakini kemarahan Tuhan, orang yang meyakini kasih sayang Tuhan dan dewa, serta orang yang meyakini bahwa Tuhan adalah entitas netral.
"Ketiganya diuji secara terpisah dalam model regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least squares/OLS) untuk memprediksi lima kelas gejala kejiwaan," demikian abstraksi yang tertulis pada studi ini. Lima kelas itu yaitu kecemasan umum, kecemasan sosial, paranoid, obsesi, dan paksaan.
Hasil studi menyebutkan, keyakinan terhadap hukuman Tuhan berpotensi secara positif mengakibatkan empat gejala kejiwaan atau mental, yaitu mengendalikan karakteristik demografi, keagamaan, dan kekuatan keyakinan akan Tuhan atau kadar taqwa.
Sebaliknya, kepercayaan atas kebajikan Tuhan secara negatif menunjukkan empat gejala kejiwaan tersebut.
Hubungan antara kepercayaan amarah Tuhan dan penyakit mental dipelajari dalam konteks Evolutionary Threat Assessment System Theory, yang menyatakan bahwa gangguan kecemasan adalah hasil dari penafsiran kurang tepat oleh otak terhadap ancaman.
Profesor Nava Silton menekankan, fakta bahwa penelitiannya tidak membangun sebab akibat antara kepercayaan amarah Tuhan dan gangguan kecemasan.
Justru sebaliknya, studi ini semata-mata mengajak berpikir (pin down) lebih jauh tentang korelasi antara keduanya.
"Kami tidak mengatakan sebuah keyakinan menyebabkan gejala gangguan mental atau kejiwaan, tapi kami melihat hubungan antara keyakinan dan gejala kejiwaan," tegas Profesor Silton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar