Saya yakin, Al-Quran akan tetap relevan tanpa batas ruang dan zaman. Allah tak memberi Muhammad (mujkizat) ”kesaktian” seperti yang Dia berikan pada Musa dan Isa karena umat Muhammad sudah matang dalam berpikir (setidaknya bila dibandingkan dengan umat sebelumnya). Saya tak bisa memungkiri bahwa Jibril membawa turun Al-Quran setelah firman Allah itu ”diterjemahkan” ke bahasa manusia (Bahasa Arab). Yang perlu digaris bawahi: meskipun Alquran berbahasa Arab, bukan berarti ia produk budaya (muntaj tsaqofi). Lalu, apa tujuannya?
Sebelum Tuhan mengutus Muhammad, bangsa Arab tersekat-sekat. Mereka
membangga-banggakan suku, ras, dan nasab. Saling menghina dan tak
menutup kemungkinan berakhir di medan perang. Tapi bangsa Arab adalah
orang-orang yang cerdas: mereka menghina dengan puisi-puisi indah
sebagai medianya, bukan umpatan-umpatan, dengan mata menyala seperti
jago merah yang akan memangsa ranting-ranting kering, seperti di
pasar-pasar tradisional di negara kita.
Mereka juga cerdik menyusun pujian dan puisi cinta yang memabukkan.
Bangsa Arab adalah penyair-penyair yang layak diperhitungkan, tak
berlebihan bila saya katakan demikian.
Dan untuk itu, Al-Quran diturunkan dengan bahasa sastrawi tak
tertandingi: ”kitab sastra” mempesona yang membuat pujangga Jahiliyyah
terheran-heran, demikian cerita Muhammad Utsman Ali dalam bukunya, Fi
Adab-il Islam-i: Ashr an Nubuwwah wa Ar Rasyidin wa Bani Umayyah: wa
Dirasah Washfiyyah-Tahliliyyah. Bahkan pada periode awal Islam, Sastra
Arab sempat vakum karena mereka terlena dengan gaya bahasa Alquran yang
begitu mempesona.
Cerita itu begitu terkenal, setidaknya bagi pegiat Sastra Arab. Tapi,
pertanyaan kita, apakah Al-Quran diturunkan sebagai tandingan karya
sastra penyair Jahiliyyah?
Saya berani menegaskan, tidak. Pasca-kenaikan Isa Al Masih, tampaknya
orang tak mengamalkan ajarannya lagi. Injil direvisi total, Isa dan
ruhul qudus (melalui berbagai tahap Konsili) dituhankan. Umat manusia
perlahan menganut paganisme kembali.
Bagi pembaca, yang mungkin kristolog, tentu sudah mafhum hal ini.
Setelah Isa diangkat dan para sahabatnya tak lagi ada, penganut Kristen
jadi minoritas; mereka harus berjuang menyelamatkan selembar nyawa dari
kejaran para paganisme. Merekalah Kristen yang pertama
(Yudeo-Christian).
Perusak pertama ajaran Isa adalah Paulus. Al Razi dalam Tafsir Al Razi,
menceritakan awal kebohongan Paulus: waktu itu, Paulus sedang memacu
kudanya. Sekonyong-konyong, kudanya terjatuh. Dan, ia terlepar jauh.
Saat itu, Paulus mendengar pesan Isa agar ia menyebarkan ajaran
Kristian. Sebagai orang yang paling berdosa ia meminta ampun dan
bertobat sambil meneput-tepuk kepalanya dengan debu. Paulus merasa
berdosa karena dia adalah tangan setan yang membantai pengikut-pengikut
Isa.
Akhirnya, ia datang ke tempat para murid Isa. Terjadi perdebatan
menegangkan: antara menerima dan menolak, tentu. Tapi berkat pengaruh
Barnabas, ia diterima. Lalu, ia ditempatkan di pertapaan. Tapi di sana
Paulus bukan bertaubat. Sebaliknya, ia menggunakan kesempatan itu untuk
menyusun doktrin-doktrinnya.
Diantara peran Paulus: menghilangkan khitan yang merupakan syariat Musa
dan Isa, juga merubah agama Kristen jadi agama terbuka, bukan lagi
ajaran yang khusus untuk bangsa Yahudi, tulis Almarhum Saih Ali Husaen,
dalam bukunya, Al Aqidah: Baina-al Wahy-i wal Falsafat-i wal Ilm-i. Dan
masih banyak lagi.
Maka, Allah SWT mengutus Muhammad SAW dan memberinya Al-Quran untuk menyegarkan
kembali (baca: naskh) agama-kitab para pendahulunya yang sudah tinggal
nama.
Waktu itu, ketika malaikat Jibril kali pertama membawa wahyu pada petapa
buta aksara, orang-orang Yahudi sudah menyebar kemana-mana. Tak
terkecuali di semenanjung Arab. Pun, masyarakat Arab di sekitar ka’bah
sudah jadi paganisme kembali.
Tak bisa memungkiri bahwa Jibril membawa turun Alquran setelah firman
Allah itu ”diterjemahkan” ke bahasa manusia (Bahasa Arab), tapi yang
perlu digaris bawahi: meskipun Alquran berbahasa Arab, bukan berarti ia
produk budaya (muntaj tsaqofi). Lalu, apa tujuannya?
Agar bisa dipahami dan dibumikan oleh para pembacanya. Dan, dengan gaya bahasa sastrawi yang mempesona,
Al-Quran tak bertujuan menandingi karya sastra pentolan para penyair
Jahiliyyah (fuhul-u al syu’ara’-i al jahiliyyat-i), tapi menunjukkan
bahwa ada pencipta ”di luar” Yang Maha Sempura. Sang Pencipta yang
firman-Nya saja (setelah dikondisikan dengan bahasa manusia) begitu
mempesona dan sempurna, sampai membuat mereka terheran-heran. Hanya Yang
Maha Sempurna yang mampu menciptakan ”karya yang sempurna,” tentu.
Kitab itu adalah mukjizat Muhammad yang akan tetap relevan tanpa batas
ruang dan zaman. Allah tak memberi Muhammad (mujkizat) ”kesaktian”
seperti yang Dia berikan pada Musa dan Isa karena ummat Muhammad sudah
matang dalam berpikir, setidaknhya bila dibandingkan dengan umat
sebelumnya. Dan, akan jadi panduan moral serta berinteraksi baik
vertikal maupun horizontal; kapan dan di mana pun.
Subhanallah.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar