Ayam kampus adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebut para penjaja seks komersil (PSK) yang masih berstatus sebagai mahasiswa kampus.
Keberadaan mereka pun layaknya rahasia umum yang ada namun sulit dilacak.
Sayangnya, motif prilaku ayam kampus bukan hanya didorong oleh desakan rendahnya faktor ekonomi Si Ayam, banyak juga diantara mereka yang hadir dari keluarga berkecukupan namun mereka hendak memiliki penghasilan lebih sehingga dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup yang “lux” alias mewah.
Seperti pengakuan para mahasiswi di bawah ini namanya disamarkan.
Sebut saja Dewi, ia adalah Si Ayam yang berasal dari kampus swasta di Bandung. Mahasiswi semester lima jurusan marketing ini mengaku sulit meninggalkan kehidupan yang serba enak dari penghasilannya sebagai ayam kampus. Ia melakukan profesi ini untuk memenuhi lifestyle.
“Pokoknya yang dicari yang duitnya banyak. Nggak tiap hari juga menerima tamu, paling kalau lagi pengen beli sesuatu aja aku terima” ujar Dewi yang mengaku kalau tamunya kebanyakan om-om asal luar kota.
Bagi Dewi, status mahasiswi yang disandangnya sangat menjual dalam industri yang ia geluti. “Image mahasiswi itu kesannya sensual, intelek, dan nggak pasaran” katanya. Untuk tarif pun Dewi mematok tarif termurah Rp.500 ribu atau bisa juga gratis asalkan si pelanggan mampu membelikan barang yang ia mau.
Begitu pula dengan Intan, mahasiswi yang sudah insaf ini mengaku sempat berprofesi jadi ayam kampus selama dua tahun.
“Takut terkena penyakit kelamin menular apalagi dalam waktu dekat mau married. Resikonya gak se-glamor yang dipikir orang” ucap Intan.
Untuk berhenti dari profesi ayam kampus, tidaklah mudah. “Sempet stres juga setelah berhenti jadi ayam kampus, karena pingin beli barang tapi gak punya uang” ujarnya. Yang jelas, tambah Intan “Enaknya secara materi cuma 4-5 tahun, tapi masa depan bisa rusak selamanya. Gaya hidup yang mewah nggak mungkin turun. Justru meningkat. Dan kalau gak terpenuhi bisa-bisa gila!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar