Nemesis yang namanya diambil dari dewi dalam mitologi Yunani kuno, konon dikenal sebagai dewi balas dendam (a goddess of revenge). Pengunjung anehdidunia.blogspot, nemesis adalah bintang kembaran matahari, tapi keberadaanya masih berupa hipotesis, karena belum dapat ditemukan ujudnya. Pada mulanya dua orang ahli paleontologi, yaitu David M. Raup dan John Sepkoski, Jr. meneliti penyebab punahnya kehidupan di bumi yang terjadi secara berkala setiap 26 juta tahun sekali, yang diperkirakan karena adanya gangguan dalam sistem tatasurya. Laporan mereka dimuat dalam Jurnal Ilmiah tahun 1984. Para astronom kemudian meneliti kemungkinan adanya bintang kembaran matahari yang memiliki garis edar yang sangat lebar sehingga letaknya dari matahari selalu berubah-ubah.
Pada saat-saat tertentu garis edar Nemesis ini mengganggu keseimbangan awan Oort, tempat bersarangnya komet. Komet yang kemudian keluar dari kelompoknya akan mendekati garis edar bumi dan tertarik oleh gaya gravitasi bumi. Tabrakan antara komet dengan bumi inilah yang diperkirakan menjadi penyebab punahnya kehidupan di muka bumi. Karena terjadi secara berulang setiap 26 milyar tahun, maka para astronom memperkirakan adanya Nemesis, yang menjadi bintang kembaran matahari, yang sewaktu-waktu datang mendekati sistem tatasurya.
Nemesis, yang juga disebut “The Death Star”, atau “Bintang Kematian”, kehadirannya menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, karena bisa mendatangkan bencana kepunahan di atas muka bumi. Memang 26 juta tahun adalah waktu yang sangat lama untuk ukuran kehidupan manusia. Nemesis sendiri saat ini letaknya diperkirakan 1,5 sampai 2,5 tahun cahaya dari bumi (kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik, satu tahun cahaya sama dengan kira-kira 9500 milyar km).
Kalangan “orang dalam” di NASA, DoD (badan inteligensi militer), SETI maupun CIA sudah memprediksikan, kalau 2/3 dari penduduk planet bumi akan punah, ketika terjadi pergantian kutub, yang disebabkan kedatangan Planet X. Sisa populasi yang bertahan hidup, terancam bahaya kelaparan dan radiasi elemen, dalam jangka waktu 6 bulan setelah kejadian ini. Semua operasi rahasia menyadari kenyataan ini, dan sudah menyiapkan diri mereka. Konon, Vatikan juga mengetahui hal tersebut. Namun sayangnya, masyarakat luas dibiarkan begitu saja tanpa informasi, dibiarkan terlena dengan kehidupan sehari-hari, tanpa punya kesempatan untuk menyiapkan diri menghadapi bencana ini. Ada apa sebenarnya?
Bocornya segelintir informasi dari kalangan “orang dalam” dan para pengamat, membuat publik mulai tertarik akan hal ini. Kenapa bencana ini begitu dirahasiakan dari masyarakat luas? Jika sampai membuat kegemparan global, maka akan mempengaruhi pasar uang serta mengakibatkan lumpuhnya perekonomian dunia.
Seharusnya masyarakat luas diberikan kesempatan untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan, setelah membaca ini, kita bisa semakin waspada ya!
Oke..saat ini, kalau kita jeli mengamati perkembangan bencana alam, jumlah kejadian bencana alam semakin banyak.Ini diakibatkan koneksi plasmatic elektromagnetis antar planet.
Sudah pernah dengar dong, kalau matahari KONON memiliki kembaran yang gelap (versi gelapnya matahari). Nah, disitulah lokasi mengorbitnya Planet X. Tepat diantara matahari dan kembarannya.
Catatan : kembaran matahari tidak terlihat dengan mata kita.
Tapi, para ilmuwan sudah menemukannya. Dalam “Illustrated Science & Invention Encyclopedia” volume ke 18, terbitan tahun 1987-1989, sudah dicantumkan soal keberadaan kembaran matahari ini.
Ini sejalan dengan gagasan Rampino, Stothers (1984) dan sang legenda : Carl Sagan (1985) yang juga berpendapat serupa lewat Hipotesis Shiva-nya, meski perulangan itu dikatakan terjadi tiap 35 juta tahun. Dengan gagasannya Whitmire dan Matessse membayangkan tiap 30 juta tahun sekali Nemesis melintas di dekat Awan Komet Oort dan gravitasinya membuat awan komet ini sangat bergejolak hingga melepaskan ribuan kometisimal yang selanjutnya melesat ke tata surya bagian dalam akibat kombinasi gravitasi Nemesis dan Jupiter. Beberapa dari komet itu ‘mampir’ ke Bumi dan menimbulkan benturan hebat yang memusnahkan kehidupan secara massal. Sayangnya, ketika satelit IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) diluncurkan awal 1980-an dan memetakan jagat raya pada spektrum sinar inframerah, Nemesis ternyata tidak pernah ditemukan.
Meski Nemesis dianggap sebagai bintang yang sangat redup, logikanya, karena masih membakar Hidrogen di terasnya, ia tetap memancarkan sinar inframerah yang kuat sebagaimana bintang2 cebol lainnya. Justru IRAS menemukan komet IRAS-Iraki-Alcox, komet redup yang melintas sejauh 5 juta km saja dari Bumi, komet terdekat selama ini. IRAS juga menemukan 3200 Phaethon, benda langit mirip asteroid namun menyemprotkan partikel2 dari permukaannya dengan bentuk mirip ekor komet dan dipastikan merupakan sumber dari hujan meteor (shower) Geminids yang terjadi tiap awal Desember. So, IRAS juga tidak pernah menyimpulkan telah ditemukan benda langit dengan ciri2 seperti Nibiru.
Kalaupun planet nibiru itu ada, dengan sifat2 fisik dan orbitnya, peluangnya untuk masuk ke tata surya bagian dalam ataupun berbenturan dengan Bumi adalah nol. Meski begitu, Selebaran Kiamatini di sisi lain sedang mengingatkan kita betapa terbukanya potensi benturan Bumi dengan benda2 langit dari Awan Komet Oort maupun Sabuk Kuiper (baca : komet), meski Bumi sudah ditamengi Jupiter dan Bulan. Merujuk betapa banyaknya jejak kawah tumbukan di wajah Bulan, Barbara Cohen dan David Kring (2002) menyimpulkan Bumi pernah dihajar jutaan bolide sekitar 2,8 milyar tahun silampada peristiwa Late Heavy Bombardment. Hajaran itu membentuk sedikitnya 22.000 kawah tumbukan berdiameter lebih dari 20 km, dengan 40 kawah diantaranya benar2 berukuran raksasa dan layak disebut basin, mengingat diameternya lebih dari 1.000 km. Kini tak satupun darikawah2 itu yang tersisa, mengingat aktifnya dinamika permukaan Bumi oleh proses erosi dan gerakan lempeng2 tektonik.
Dua kawah tertua yang ada, masing2 Vredefort (Afrika Selatan, diameter 300 km) dan Sudbury (Canada, diameter 250 km) berasal dari masa yang lebih muda (2 milyar tahun silam). Andai hipotesis Shiva benar, jika kita menghitung balik dari dua peristiwa tumbukan benda langit terdahsyat terakhir, yakni peristiwa 65 juta tahun silam (musnahnya Dinosaurus, ditandai dengan terbentuknya Kawah raksasa Chicxulub) dan 35 juta tahun silam (terbentuknya Kawah Popigai di Russia, diameter 100 km, dan Kawah Chesapeake Bay di New YorkCity, diameter 95 km), nampaknya siklus bencana 30-35 juta tahun akan terulang lagi di masa kini, periode dimana manusia hidup. Berkait tumbukan ini, menarik sekali bahwa di region Asia Tenggara, sebagian Australia, Taiwan, China dan P. Madagaskar, bahkan ada juga yang mengatakan hinggake Eropa Tengah dan Texas, telah ditemukan tektit, yakni butir2 batuan beku khas produk tumbukan benda langit. Di Indonesia tektit ini bisa ditemukan di Jawa (terutama di Sangiran), Belitung, Kalimantan dan Ambon. Tektit yang disebut tektit austral-asia ini terjepit di sedimen berumur pleistosen tengah atau dari masa 0,77 juta tahun silam.
Di dalam tektit ini ditemukan pula mineral coesite, sejenis kuarsa yang termetamorfosis oleh tekanan luar biasa besar (200ribu ton per meter persegi !), yang secara alami hanya diproduksi oleh tumbukan benda langit. Jelas bahwa sebaran tektit austral-asia berasal dari tumbukan benda langit pada 0,77 juta tahun silam. Melihat betapa luas sebarannya, Edward Chao – yang bersama empat serangkai : Eugene Shoemaker (alm), Nicholas M. Short, B.M. French dan W von Engelhardt menjadi pionir penyelidikan dan pembuktian tumbukan benda langit di dekade 1960an – menyebut tektit itu bisa disamakan dengan sebaran global lempung hitam tipis yang terjepit di antara sedimen zaman Kapur danTersier. Lempung hitam ini jadi demikian populer karena amat kaya dengan iridium dan jadi salah satu penanda terjadinya tumbukan dahsyat 65 juta tahun silam, yang membentuk Kawah raksasa Chicxulub sembari mengiamatkan 75 % populasi makhluk hidup saat itu. Maka skala tumbukan yang membentuk tektit austral-asiapun menyamai dahsyatnya pembentukan Kawah Chicxulub.
Hampir semua paper yang mengupas genesis tektitaustral-asia menyebut kawasan Asia Tenggara merupakan titik permukaan Bumi yang dihantam bolide pada 0,77 juta tahun silam itu. Menariknya, survey di Laut Cina Selatan selama 1 dekade (1989 – 1999) menggunakan satelit GEOSAT dan SEASAT berhasil mendeteksi sebuah struktur sirkular raksasa berdiameter 100 km di 13° 36′ LU 110° 30′ BT. Meski belum diteliti lebih lanjut (karena untuk itu perlu dibor dan dicek tipe batuannya) diduga kuat inilah kawah raksasa itu. Satu hal yang harus diingat, meski (anggaplah) tumbukan versi hipotesis Shiva itu sudah terjadi 0,77 juta tahun silam, dalam sejarahnya jarang sekali dijumpai tumbukan benda langit (terutama yang membentuk kawah2 raksasa) dari bolide tunggal, kebanyakan dihasilkan oleh beragam bolide yang datang secara berentetan selama 1-2 juta tahun (rentang waktu yang tergolong pendek dalam skala waktu geologi). Pola khas ini nampak dari terbentuknya kawah Chicxulub yang segera diikuti dengan pembentukan 7 buah kawah tumbukan lain, masing2 Eagle Butte (Canada), Gusev (Russia), Belize (Meksiko), Alvaro Obregon (Meksiko), Haiti (Laut Karibia), Silverpit (lepas pantai Inggris) dan sau kawah tak bernama di dasar Samudera Pasifik.
Begitu pula terbentuknya Popigai, yang langsung disusul dengan munculnya kawah Chesapeake Bay (AS) dan struktur Fohn di celah Timor. Dan kawah di Laut Cina Selatan ini ? Memang sebelumnya telah terbentuk kawah Zhamanshin (Kazakhstan, diameter 14 km, 0,9 juta tahun silam), Bosumtwi (Ghana, diameter 10,5 km, 1,1 juta tahun silam), Eltanin (Laut Bellingshausen, diameter 40 km, 2,15 juta tahun silam) dan Kara-Kul (Tajikistan, diameter 50 km, 3 juta tahun silam). Namun kita tidak pernah tahu apakah kawah di Laut Cina Selatan tadi merupakan “penutup” rangkaian tumbukan itu atau hanya bagian dari sejarah mencekam yang sedang bergulir sampai detik ini.
sumber: http://forum.viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar