Bukan hanya Jenderal Hoegeng yang dikenal karena kejujurannya. Ada cerita lain soal sosok polisi jujur dan berani, Komjen Pol Mohammad Jasin. Jasin bahkan tak tergiur emas dan permata rampasan perang jumlahnya berkilo-kilogram.
Ceritanya penghujung tahun 1945, berbarengan dengan Pertempuran 10 November, situasi di Surabaya panas. Persaingan antar satuan dan tokoh-tokoh militer memanas. Walau sama-sama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia, saling bunuh atau saling culik biasa terjadi. Motifnya sepele, soal pribadi atau berebut pengaruh.
Saat itu Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Karesidenan Surabaya, Mayor Sabarudin sangat ditakuti. Kelakuan Sabarudin ini ibarat koboi. Enteng saja dia menembak mati dan memenggal orang-orang yang dianggapnya mata-mata Belanda. Sabarudin juga dikabarkan mengkorupsi dana perjuangan.
Dia gemar mengumpulkan tahanan wanita-wanita Belanda untuk dijadikan sebagai gundik. Tak ada yang berani menegur apalagi menghukum Sabarudin atas kelakuannya yang beringas.
Puncaknya Sabarudin menculik Mayor Jenderal Mohammad. Seorang petinggi TKR di Surabaya. Alasannya karena Mohammad yang bertanggung jawab atas urusan dana perjuangan ini tidak memberinya uang. Mohammad berpendapat Sabarudin tidak dapat mempertanggungjawabkan dana perjuangan yang diberikan pada kesatuannya.
Maka markas besar angkatan perang merasa perlu mengambil tindakan tegas. Jenderal Soedirman sendiri yang memanggil Inspektur Polisi Jasin ke Yogyakarta. Jasin adalah Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan, saat ini disebut Brigade Mobil atau Brimob. Soedirman memerintahkan Jasin melucuti pasukan Sabarudin dan menangkapnya. Jasin sempat bertanya mengapa tugas ini tidak dberikan pada Angkatan Darat?
“Pimpinan Divisi Tentara itu takut pada Mayor Sabarudin. Oleh karena itu saya memberikan tugas itu pada Saudara Jasin. Panglima besarlah yang bertanggung jawab,” demikian jawaban Sudirman seperti ditulis dalam buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2010.
Maka Jasin pun mengumpulkan pasukannya di Surabaya dan menggerebek Markas Mayor Sabarudin. Tanpa perlawanan Sabarudin menyerah. Pasukan Jasin pun menahan dan melucuti mereka.
“Dalam penggerebekan itu ditemukan delapan wanita Eropa yang sedang hamil dan empat besek penuh perhiasan emas dan berlian. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp tahanan bangsa Eropa,” kata Jasin.
Melihat emas dan berlian yang melimpah ruah itu Jasin tak tergoda. Sebenarnya bisa saja dia mengambil benda berharga tersebut. Apalagi saat itu suasana perang, Markas Tentara pun tak tahu jika Sabarudin memiliki kekayaan berlimpah. Tapi sebagai perwira polisi, Jasin punya integritas. Dia menyerahkan semuanya pada atasannya.
“Semua itu diserahkan sebagai bukti pada Dewan Pertahanan Surabaya di Mojokerto. Bagaimana selanjutnya penanganan hasil rampasan itu saya tidak tahu,” kata Jasin.
Sementara Sabarudin akhirnya diadili dan diputus bersalah. Dia dihukum penjara. M Jasin terus berkarir di kepolisian. Sejumlah jabatan penting pernah diembannya. Jasin digelari Bapak Brimob Indonesia.
Masih ingat Komisaris Jenderal Moehammad Jasin, polisi jujur yang tidak tergiur emas dan berlian empat besek? Ternyata mantan komandan pasukan Brigade Mobile Polri ini juga punya cerita soal menarik soal rumah dinas.
Ceritanya saat itu Jasin diangkat menjadi komandan polisi kabupaten Surabaya yang bermarkas di Gresik. Karena rumah dinas belum ada, Jasin terpaksa tinggal di ruangan sempit yang disebut kaserne. Ruangan ini sebenarnya jatah polisi rendahan. Tapi Jasin tak keberatan, dia malah merasa senang.
"Saya merasa dapat belajar hidup di antara bawahan yang juga tinggal di Kaserne tersebut. Saya gemar makan di kantin sambil bergaul akrab dengan bawahan. Dalam pergaulan ini, saya berusaha tampil sebagai teladan dan memperlihatkan kesejahteraan bawahan," kata Jasin dalam buku 'Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia' terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Sayangnya Jasin tidak bisa lama tinggal di kaserne itu. Dia diminta pindah ke rumah dinas yang letaknya tak jauh dari kaserne itu. Jasin mengingat ada pohon beringin besar di depannya. Menurut Asisten Wedana Gresik Soeprapto, rumah dinas itu juga berhantu.
"Katanya penunggu itu sering menampakkan diri saat malam hari. Wajahnya seperti orang Arab, berpakaian jubah putih dan memegang sorban," cerita Jasin.
Tapi Jasin tak percaya. Menurutnya itu semua hanya isapan jempol. Nah suatu malam, saat malah hari yang sepi. Tiba-tiba telepon di rumah dinas itu berbunyi. Anjing milik Jasin menggigil ketakutan dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Jasin berusaha menenangkannya. Ketika dia berbalik, betapa terkejutnya perwira polisi itu.
"Ada seorang tamu yang membelakangi saya. Tamu itu berjubah putih dan mengenakan sorban. Dia berdiri membelakangi saya dan berjalan keluar melalui pintu yang terkunci dan menghilang."
"Sejak penglihatan itu, barulah saya percaya pada cerita-cerita yang berbau mistik," kenang Jasin.
Nah, kira-kira sekarang apakah di rumah dan vila mewah milik para jenderal kaya yang diduga korupsi apa ada hantu juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar