Apakah di dalam Islam ada istilah waktu buruk, tahun malapetaka, bulan nahas, hari sial, atau malam terkutuk? Simaklah firman-Nya, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.” (Q.s. at-Taghabun [64]: 11).
Umat Muslimin yang beriman kepada Allah Swt dengan benar sudah semestinya mengimani takdir-Nya dengan benar pula. Firman-Nya: Katakanlah (kepada mereka), “Semuanya (kebaikan dan keburukan) datang dari sisi Allah.” (Q.s. an-Nisa` [4]: 78), juga hadis qudsi-Nya, “Anak Adam menyakiti-Ku dengan mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, di tangan-Ku lah waktu dan Aku bolak-balikkan siang dan malam.” (H.r. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Malik).
Semua takdir yang Dia tetapkan, termasuk waktu dan segala peristiwa yang terjadi di atasnya, seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan keridhaan dan ketakwaan kepada-Nya.
Salah Paham pada Muharram
Nah, salah satu waktu yang masih sering disalahpahami adalah bulan Muharram yang sebentar lagi akan kita jumpai. Sebagian umat ini terjebak pada dua kutub ekstrem kejahilan. Sebagian umat menganggap Muharram sebagai bulan angker, seram, jelek, dan sial. Melaksanakan berbagai hajatan—pernikahan, khitanan, dll—di dalamnya dinilai buruk dan dapat mendatangkan petaka. Sebagian yang lain mengidentikkan Muharram sebagai bulan duka cita dengan menisbahkan peristiwa gugurnya cucu Nabi Saw, Husain r.a., ribuan tahun yang lalu. Kontras dengan itu, sebagian umat memang memuliakan bulan Muharram, namun dengan cara yang salah dan tidak tepat. Mereka menilai Muharram sebagai bulan keramat (sebenarnya dari kata karamah = kemuliaan), namun kemudian menjalankan beragam laku spiritual yang mistis, aneh, dan tidak berdasar.
Padahal, bulan Muharram justru merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam, sudah semestinya dimuliakan dengan cara-cara yang mulia pula. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu….” (Q.s. at-Taubah [9]: 36).
Rasulullah Saw menjelaskan, “Waktu itu telah berputar sebagaimana biasa sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada 12 bulan, di antaranya empat bulan haram (mulia). Tiga bulan haram berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu lagi adalah Rajab yang terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (H.r. Bukhari).
Bagaimana Menghormati Muharram?
Bulan Muharram dimuliakan oleh Rasulullah dengan cara berpuasa asy-Syura`, puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram (H.r. Bukhari, Muslim, Abu Dawud). Pada awalnya Rasulullah mengamalkan puasa asy-Syura` sendirian, kemudian memerintahkan umat Islam ikut berpuasa, kemudian menjadikannya sebatas sunnah ketika kewajiban puasa Ramadhan telah ditetapkan (H.r. Bukhari), kemudian di penghujung hayat beliau bercita-cita menambahi puasa pada tanggal 9 Muharram agar berbeda dengan Yahudi dan Nasrani, namun tidak kesampaian karena beliau telah wafat (H.r. Muslim). Menurut hadis lain (H.r. Ahmad) beliau memerintahkan penambahan puasa sehari sebelumnya (9 Muharram) dan sehari sesudahnya (11 Muharram), tetapi sebagian ulama menilai hadis yang terakhir ini dha’if.
Maka dari itu, berpuasa asy-Syura` dapat dilaksanakan dengan alternatif pendapat para ulama, yaitu berpuasa tanggal 10 saja, berpuasa tanggal 9 dan 10, atau berpuasa tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Wallahu a’lam.
Muharram itu Keren!
Tidaklah benar mitos-mitos yang selama ini beredar bahwa hajatan dan pernikahan di bulan Muharram akan mendatangkan bala dan malapetaka. Sebagian orang Jawa bilang, “Wulan Sura wulan cilaka, bulan Muharram bulan celaka.” Padahal, salah satu tokoh Jawa yang paling termasyhur, Sultan Agung Hanyakrakusuma, justru sangat menghormati bulan Muharram. Beliau mengubah kalender Jawa yang terpengaruh Hindu (Caka) menjadi kalender hijriyah Islam yang dijawakan. Sebagian bulan dinamai sama tetapi dilogatkan Jawa, sebagian lagi diberi nama berdasarkan peristiwa besar yang terjadi pada bulan itu. Bulan Muharram beliau namai Sura (dibaca: Suro) karena di dalamnya terdapat puasa asy-Syura` pada tanggal 10. Nah!
Masih ragu-ragu menikah dan mengadakan hajatan pada bulan Muharram tidak membawa bencana? Sejumlah Muslimin berani membuktikannya. Ada kru Pro-U Media yang menikah pada tanggal 1 Muharram sekian tahun yang lalu, di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (simbol tradisi Jawa-Muslim) pula! Akhir-akhir ini, bahkan sejumlah pasangan sengaja menikah massal pada bulan Muharram. Dan… kehidupan keluarga mereka insya Allah berkah.
Nah, betapa mulia dan kerennya bulan Muharram, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar