Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, sebab ilmu dapat mengarahkan amal manusia menjadi lebih benar. Dalam Al-Qur’an, Allah mengibaratkan orang yang berilmu dan yang tidak dengan perumpamaan orang melihat dan orang yang buta. Tentu saja keduanya berbeda. Allah menjunjung derajat orang yang berilmu beberapa derajat, seperti yang tercantum dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11.
Berbicara mengenai ilmu pengetahuan yang sangat berkembang saat ini, tentu kita sangat tahu bahwa banyak ilmu yang kita pelajari bersumber pada Barat. Satu sisi kita perlu mengagumi kegigihan mereka (Barat) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain kita perlu mengembangkan kekritisan terhadap ilmu-ilmu itu. Mengapa demikian? Sebab mereka mengembangkan ilmu seolah mereka bebas berpikir tanpa merasa bahwa ada kuasa Tuhan turut berperan dalam kehidupan mereka. Terutama ilmu-ilmu yang sifatnya sosial yang lebih dominan ke arah pemikiran.
Ilmuwan Barat seringkali mengatakan bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Pandangan ini keliru, karena bukankah kita memilih agama atau keyakinan untuk menjadi arahan hidup kita? Bukankah sebuah ilmu pengetahuan menjadi bagian dari hidup kita? Artinya ia pun tak luput dari pengaturan agama kita. Terlebih-lebih umat Muslim yang notabene menganut dien Islam. Kita perlu tahu bahwa dien bukanlah sekedar agama, tapi dien adalah sistem hidup. Ini artinya sekecil apapun aspek dalam kehidupan kita, maka ia tak lepas dari sistem dan aturan Islam.
Ada pula Sigmund Freud, seorang pendiri mazhab Psikoanalisa dalam Psikologi, yang memandang sebelah mata seorang wanita. Menganggap betapa wanita adalah golongan manusia yang membawa kegelapan pada kehidupan. Tentu ini bertentangan dengan Islam yang jelas-jelas menjunjung tinggi seorang wanita. Bahkan Rasulullah menyebut kata ibu tiga kali sebelum akhirnya menyebut kata ayah. Bukankah ini adalah fakta sederhana yang menunjukkan betapa ilmu pengetahuan Barat tidak bisa serta merta kita terima.
Lebih parah lagi Nietszche, seorang filsuf yang mengatakan bawa Tuhan telah mati. Pernyataannya ini seolah menunjukkan bahwa pemikirannya mampu melebihi kebesaran sesuatu yang ia sebut Tuhan. Seolah Tuhan bukanlah siapa-siapa. Padahal sungguh kita tahu bahwa Allah adalah Rabb pencipta alam semesta. Ialah Dzat Yang Maha Kuasa. Tak akan ada yang lain yang bisa menandingiNya. Maka tidak pantas seorang manusia biasa seperti Nietszche memberikan ‘vonis mati’ pada Tuhan para manusia.
Leo Tolstoy mengatakan bahwa manusia seringkali memiliki ide tentang bagaimana orang lain bisa berubah, namun tidak memiliki ide tentang bagaimana dirinya sendiri bisa berubah. Sayangnya itulah yang terjadi pada muslim sekarang ini. Seringkali kita mencibir ‘kesesatan’ dalam ilmu-ilmu Barat itu, memiliki beragam kritik dan saran tentang bagaimana mereka seharusnya, tapi entah apa yang kemudian kita lakukan dengan diri kita sendiri. Sederhananya, jika kita tidak bisa mengatur bagaimana seharusnya pemikiran ilmuwan Barat, maka yang bisa kita lakukan adalah mengatur bagaimana kita memperbaiki ilmu itu dan mengembangkan yang sifatnya Islami. Jika Barat bersemangat melakukan proses sekulerisasi, maka kita pun harus bersemangat melakukan Islamisasi.
Memperbaiki dunia ilmu pengetahuan bisa kita lakukan dengan proses mengislamisasikan ilmu pengetahuan itu sendiri. Islamisasi pengetahuan, sebagaimana seseorang yang hendak masuk Islam, maka bisa dilakukan dengan mensyahadatkan ilmu pengetahuan itu. Ini berarti kita harus melakukan pembuktian-pembuktian mengenai ilmu pengetahuan itu, mengembangkan yang benar dan menunjukkan bagian yang salah, sehingga tidak semakin banyak orang terjebak dalam ‘sekulerisasi sembunyi-sembunyi’ yang Barat lakukan.
Malik Badri, Bapak Islamisasi Psikologi, mengumpamakan proses ini seperti bayi-bayi yang tercampur dengan lumpur dalam sebuah bak besar. Kita tidak perlu membuang seluruh isi bak, tetapi yang perlu kita lakukan adalah membuang lumpurnya dan tetap menyimpan si bayi-bayi itu. Kita buang ilmu-ilmu yang salah, kita arahkan bagian ilmu-ilmu yang benar agar sesuai dengan syari’atNya. Semua memang tidak mudah, ada proses panjang yang perlu dilewati sampai pada akhirnya banyak orang akan menerima ide kita tentang ilmu yang Islami itu. Seperti halnya dunia perbankan yang sejak dulu bersifat konvensional dengan bunga tinggi.
Para pendahulu kita berupaya mempelajari dan mensyahadatkan sistem perbankan konvensional, sehingga bermulalah bank syari’ah. Awalnya bank syari’ah memang dianaktirikan, tapi lihatlah sekarang ia mulai diterima dan berkembang di mana-mana. Bukankah ini adalah sarana pengaplikasian ilmu Islam dan juga metode untuk beramar ma’ruf nahi munkar?
Selama kita memiliki dasar yang kuat dan tepat, kita tak perlu takut mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Lagipula tentu kita tidak lupa bahwa Islam pernah berjaya dengan ilmu pengetahuan dan segala penemuan-penemuannya. Ini pun merupakan bentuk syukur kita atas hikmah yang Allah karuniakan, karena sungguh dalam QS. Az-Zumar ayat 9, Allah berfirman bahwa: Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang ber-akal-lah yang dapat menerima pelajaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar