Imam Ghazali memberi perumpamaan menarik buat nafsu. Nafsu seperti kuda. Banyak sisi positif dari kuda. Di antaranya, bisa dikendarai, mengangkut beban, hiasan, dan lain-lain. Dengan catatan, harus bisa dikendalikan. Jika tidak, kuda menjadi liar. Jangankan dikendarai, didekati pun bisa tergolong berbahaya.
Kedua, mudah terpengaruh lingkungan. Perumpamaannya mirip seperti anak kecil. Ia belum punya prinsip. Belum bisa membedakan mana baik dan buruk. Mana yang aman dan berbahaya. Ketertarikan dan keterpautannya selalu tertuju pada yang menarik, lain dari yang lain.
Bayangkan jika nafsu yang seperti anak kecil diberikan tugas mengambil keputusan. Ia akan kebingungan. Saat itulah, ada faktor luar yang menuntun sang nafsu menentukan pilihan. Siapa lagi si faktor luar kalau bukan setan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…dan mereka tidak lain hanya menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa: 117-119)
Pada titik tertentu, setan bukan cuma sukses menggiring nafsu menjadi tidak terkendali. Bahkan, nafsu bisa menjadi tuhan. Ia bukan lagi anak kecil yang mesti dimanja dan dituruti, tapi punya pengaruh menentukan. Nafsu bisa punya kekuatan yang mendikte jalan hidup si manusia.
Firman Allah swt. dalam surah Al-Jaatsiyah ayat 23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.…”
Sejarah memberikan pelajaran berharga. Itulah yang pernah dialami salah seorang putera Nabi Adam a.s., Qabil. Nafsunyalah yang memandu Qabil untuk mengambil sebuah keputusan besar. Sebuah keputusan yang sangat jahat dan belum pernah terjadi di masa sebelum mereka. Qabil membunuh saudara kandungnya, Habil.
“Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya. Sebab itu, dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maaidah: 30)
Dan sebab ketiga, hilangnya keseimbangan diri. Kadang seseorang lupa kalau dirinya tidak melulu terdiri dari fisik atau jasad. Ada unsur lain yang juga sangat penting: akal dan ruh atau hati.
Kalau jasad merasa kelaparan jika tak dipenuhi kebutuhannya, begitu pun dengan ruh. Dan kebutuhan ruh adalah keadaan yang selalu dekat dengan Penciptanya, Allah swt. Ruh akan tenteram jika seorang hamba Allah menyibukkan diri dengan dzikrullah. Dalam keadaan apa pun: berdiri, duduk, tidur.
Justru, mereka yang senantiasa dzikrullahlah yang patut disebut sebagai orang-orang yang berakal. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi….” (QS. 3: 190-191)
Menariknya, keinginan nafsu kadang berseberangan dengan kebutuhan ruh. Wajar jika pertarungan kerap terjadi. Para hamba Allahlah yang akhirnya berani mengambil keputusan. Pilih selera nafsu yang berarti menuju jalan fujur atau dosa. Atau, memilih ketinggian ruhani yang sama dengan jalan takwa.
Ahlan wa sahlan, Ya Ramadhan. Semoga Allah memenangkan ruh dan iman kita dibanding nafsu yang tidak pernah puas. Jadikan Ramadhan sebagai bulan khusus buat ruhani. Dan paksakan nafsu sebagai pengikut. Bukan yang diikuti. Insya Allah, keseimbangan diri akan bisa diraih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar