Sebelumnya membaca lebih jauh tulisan ini, saya perlu menggarisbawahi terlebih dahulu, bahwa judul di atas bukan bermaksud untuk melecehkan jilbab apalagi umat Islam. Justru sebaliknya, tulisan ini ingin mengajak kita semua – khususnya muslimah – untuk melihat dan mengkaji kembali eksistensi jilbab yang sebenarnya. Bahwa jilbab bukanlah pakaian yang menjadi trend semusim atau tenda ojek yang bisa dibongkar pasang sesuai kondisi.
Saya tergelitik untuk membuat tulisan ini, ketika secara tak sengaja, membaca sebuah berita yang membuat geli sekaligus miris. Berita tersebut sekaitan dengan penahanan tersangka-tersangka suap, yang justru aneh adalah pernyataan salah seorang pengacaranya, yang menyebut klien-nya belum dan tidak berniat untuk memakai jilbab. Mungkin sebagian diantara kita, ada yang bertanya, kenapa wartawan sampai melontarkan pertanyaan seperti itu.
Pasalnya, ada semacam trend atau fenomena yang entah disengaja atau tidak, tiba-tiba saja mereka yang tersangkut masalah hukum mendadak religius (bukan mendadak dangdut loh, ya!). Ada yang memakai jilbab, memegang tasbih kemana-mana, menjadi dermawan dan lain sebagainya. Lihat saja sederet perempuan negeri ini yang tersandung masalah hukum. Saat tampil di persidangan atau konfrensi pers, mereka menggunakan jilbab atau katakanlah selembar kain yang dililitkan di kepalanya.
Masih segar dalam ingatan, beberapa tahun lalu ketika seorang ibu bernama Daisy Fajarina yang termehek-mehek menangis di hadapan sejumlah awak media infotainment. Sang ibu yang tampil dalam balutan busana muslim dengan kerudung di kepalanya, berhasil menarik simpati masyarakat. Dengan follow-up yang luar biasa dari media, sang anak yang menjadi menantu salah satu kerajaan di Malaysia, yang konon katanya mengalami siksaaan dan kekerasan berhasil kembali ke pelukannya. Tapi apa lacur, jilbab si ibu hanya topeng. Belakangan, beredar foto-foto panas si ibu dan anaknya dengan busana minim dan seksi, dengan latar belakang klub malam pula.
Masyarakat kita – umat Islam – cenderung mudah terhipnotis dengan hal-hal berbau agama. Atau katakanlah, sesuatu yang dikemas atas dan untuk nama agama, termasuk jilbab. Kita dengan gampang menaruh rasa iba, padahal yang mereka tampilkan adalah sebuah kepura-puraan bahkan kepalsuan.
Dalam ajaran Islam, jilbab bukanlah selembar kain tanpa makna. Berjilbab, wajib hukumnya bagi perempuan muslim (muslimah) yang sudah akil baliq. Sebagaimana dikatakan Alloh subhanawata’ala dalam firman-Nya “Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan orang mukmin, supaya mereka menutupkan baju mantelnya ke seluruh badannya. Hal itu lebih mudah untuk mengenal mereka, sehingga mereka tidak diganggu (disakiti) oleh orang jahat. Alloh maha pengampun lagi pengasih” (QS: Al-Ahzab ayat 59)
“Katakanlah kepada orang-orang beriman perempuan, supaya mereka merendahkan pandangannya dan menjaga kehormatannya, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali apa yang biasa lahir daripadanya, dan hendaklah mereka tutupkan kudungnya ke dadanya” (QS: An-Nur: 31)
Jadi, jilbab adalah selembar kain yang dililitkan ke kepala dan dikudungkan ke dada dan tidak memperlihatkan perhiasan yang ada pada diri seorang perempuan, kecuali muka dan telapak tangan. Jilbab merupakan hijab bagi seorang muslimah, ia menjadi pembeda dan menjadi identitas untuk menunjukkan eksistensi seorang muslimah di manapun ia berada. Jilbab bukan trend atau pakaian semusim. Tidak pula pakaian jahiliyah kuno yang ketinggalan zaman seperti yang didengung-dengungkan gerakan feminisme barat.
Lalu, salahkah bila seorang koruptor atau mereka yang terlilit kasus hukum, mengenakan jilbab? Tidak! Tidak salah, sepanjang memang diniatkan dari hati untuk menjadi pribadi yang lebih santun, baik dan bermartabat (muslimah sejati). Yang jadi persoalan adalah jilbab digunakan sebagai ajang menarik simpati, menutupi kebusukan atau kepura-puraan (kepalsuan). Dipakai sesuka hati sesuai situasi dan kondisi. Ketika menangis termehek-mehek, memakai jilbab. Lalu besoknya, tampil dengan pakaian ala kadarnya (minim). Astaqfirullah ‘aladzhim..!
Ulah oknum seperti inilah yang terkadang membuat citra jilbab “jatuh” pasaran. Belakangan, di pasar-pasar atau di toko busana muslim, kadang ada yang menyebut, “Seperti jilbab yang dipakai ibu anu. Itu, ibu yang korupsi” Dari sinilah muncul istilah jilbab koruptor yang membuat telinga tidak nyaman mendengarnya. Ironisnya, para perempuan sosialita yang terjerat kasus pidana korupsi itu mengenakan jilbab/selendang branded dengan harga selangit. Seakan sedang pamer kekayaan, padahal mereka sedang disidang dan disorot karena kasus korupsi.
Sekali lagi, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendeskreditkan mereka yang tersangkut kasus korupsi. Namun pelajaran bagi kita semua – termasuk saya – untuk kembali menyelami makna jilbab itu sendiri. Bahwa jilbab adalah pakaian taqwa. Semoga saja, dengan mengenakannya akan meningkatkan ketaqwaan kita kepada-Nya. Termasuk bagi muslimah yang kini tersandung kasus korupsi atau masalah hukum lainnya. Mudah-mudahan di balik musibah yang mendera, ada hikmah luar biasa yang telah dipersiapkan Alloh azzala. Sebab, Alloh akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, apapun status dan kondisinya.
Wallahu’ wallam bishawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar