Robert T. Kiyosaki bercerita dalam bukunya tentang berbedanya ayah kaya dan ayah miskin (Rich Dad and Poor Dad). Jika pembelajaran tentang kekayaan yang dia peroleh dari ayahnya, maka pengalaman saya sedikit berbeda dengan beliau. Saya mendapatkan itu dari Ibu saya. Tiga kebijakan tentang ekonomi dari ibu saya.
1. Efisiensi terhadap segala hal
2. Produktifkan setiap asset
3. Semua bisa jadi uang
Efisiensi terhadap segala hal
Penggunaan energi listrik rumah – TV, lampu dan alat-alat elektronik lainnya selalu diperingatkan kalau tidak dibutuhkan, matikan. Dan peringatan itu selalu saja diingatkan tanpa jenuh-jenuhnya. Begitupun untuk makanan dan pakaian. Makan dan berpakaianlah sesuai kebutuhan tidak perlu mewah tetapi cukup. Meski kita memiliki uang lebih, jangan sampai diboroskan dengan membeli sesuatu yang belum jelas manfaatnya. Efisienkan segala hal di dalam rumah karena efisien awal dari kekayaan.
Produktifkan setiap asset
Jika memiliki uang berlebih, gunakan untuk sesuatu yang produktif dan punya nilai guna manfaat meski dengan hanya berjualan sesuatu a la kadarnya, tapi konsisten. Ibu saya untuk membiayai seluruh anaknya hingga mencapai perguruan tinggi dengan membuka warung kecil. Memang, warung hanyalah salah satu usaha yang dimiliki selain 3 rumah kos-kosan dan pemberian kredit terhadap orang-orang yang sudah dikenalnya. Tanah kosong yang dimiliki ibu saya dijadikan bercocok tanam dan beternak meski hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan keluarga saja. Baginya, jika ada asset tidak produktif adalah kerugian besar. Empat puluh tahun lebih dia terus konsisten dengan usahanya. Saat ini ibu saya sudah renta tertelan usia tapi ketiga anaknya melanjutkan jejak sang Ibu terus berkembang dengan berwirausaha.
Semua bisa jadi uang
Di usia rentanya, ibu saya selalu memberikan contoh bagaimana caranya mendapatkan uang. Kadang dengan cara berjualan nasi uduk dan lontong sayur di depan rumah—dan hampir semua bahan baku diperoleh dari kebun dan ternak sendiri. Hingga jam 8 pagi ibu saya bisa mengantongi keuntungan bersih hingga Rp. 25 000 (dua puluh lima ribu rupiah) plus 6 anggota keluarga sudah mendapatkan sarapan gratis. Kadang ada tetangga yang jual rambutan dan ibu saya dengan sigap mengikat dan menyimpannya depan rumah, menunggu orang lewat dan sampai sore hanya dengan modal Rp. 50.000, ibu saya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp. 30. 000 rupiah. Dan masih banyak contoh kecil lain, mulai dari sampah hingga emas, ibu saya selalu mengajarkan mengelolanya dengan baik dan semua bisa jadi uang. Semua dilokoni dengan santai dan tidak menyita waktu. Baginya memberikan pembelajaran pada anak cucu itu lebih utama.
Sedangkan dalam menjalankan bisnis ibu saya selalu berpesan 3 hal:
1. Setiti – Waspada
2. Teliti – Teliti
3. Ati-ati– Hati-hati
Kata-kata ini sedari kecil hingga usia saya menginjak dewasa tidak bosan-bosannya terus diucapkan ketika saya akan melakukan banyak hal. Jiwa muda saya kadang terlalu menggebu-gebu jika mengambil sebuah keputusan dan mengambil sebuah langkah dalam berwirausaha. Pesan Ibu saya, itulah yang mengerem saya untuk berpikir dua kali dalam mengambil tindakan.
Semua pesan dari ibu saya hanya pesan sederhana tapi saya punya tekad besar untuk merubah kehidupan saya, mengubah banyak hal selagi saya bisa dan punya kesempatan.
Sementara Ibu teman saya sedari kecil, beda lagi. Saya mengalami pertumbuhan yang sama dengan anaknya, tapi hingga kini tidak mengalami banyak perubahan. Ibu saya bilang, dia tidak pernah menabung untuk anak-anaknya dan jika memiliki uang lebih pasti diboroskan untuk kenikmatan mereka, meski sesaat.
Ibu miskin cenderung tidak efisien terhadap pola konsumsinya dan kalau bisa malah dia melakukan pinjaman untuk membeli hal-hal yang tidak produktif. Banyak dari kita rela melakukan pinjaman terhadap bank atau pun saudara hanya untuk membeli sesuatu yang konsumtif. Padahal awal dari kemiskinan adalah pola hidup konsumtif. Mereka melakukan pembelian dengan tanpa pikir panjang tapi dalam beberapa hitungan bulan berubah pikiran untuk menjualnya kemballi dengan harga jauh lebih murah daripada harga beli.
Ibu miskin tidak pernah mau berpikir memberikan nilai tambah terhadap barang yang dimilikinya. Seandainya punya singkong, ia lebih memilih untuk menjualnya dalam bentuk singkong, tidak berpikir untuk memberikan nilai tambah yang akan menaikan harga jual. Padahal singkong, dengan sedikit kreativitas, bisa jadi kripik atau jajanan lainnya yang punya nilai jual lebih tinggi.
Ngomong-ngomong tentang ibu miskin, sebenarnya kasusnya hampir sama dengan ibu pertiwi. Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan tapi tidak dikelola dengan nilai tambah yang maksimal. Meski ibu pertiwi kaya, tapi nasibnya tetap miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar