Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Setiap muslim wajib mencintai Nabinya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mencintai beliau tidaklah seperti mencintai manusia selainnya. Karena mencintai beliau termasuk pokok ajaran dien dan pondasi dasar keimanan. Bahkan kita menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai bagian dari ibadah yang agung. Kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai dan memuliakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,
فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raf: 157)
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri." (QS. Al-Ahzab: 6)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Dan demi Zat yang jiwaku berada di tangn-Nya (Demi Allah), tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada diirnya, hartanya, anaknya, dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari)
Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad di ambil dari bahasa bahasa Arab yang artinya hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Seperti yang tercatat wikipedia; sejarah awal mula perayaan maulud nabi Muhammad SAW diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuan Maulud Nabi adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.
Sejarah Awal Mula Maulid Nabi
Dalam catatan sejarah, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan
peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam -yaitu pengikut
mazhab Bathiniyyah- adalah tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi
untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah. Wallahu Ta'ala A'lam.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah. Wallahu Ta'ala A'lam.
Siapakah Bani Ubaidiyyun ?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitabnya “ Al-Bidayah Wannihayah”:
(Raja Bani Fathimiyyun telah berkuasa selama 280 tahun. Yang pertama berkuasa adalah Al-Mahdi yang merupakan orang yahudi, lalu masuk kenegeri Maroko dan menggunakan nama Ubaidillah, dan mengaku sebagai keturunan ‘Alawi Fathimiy, dan mengatakan tentang dirinya: bahwa dia Al-Mahdi, yang mana dakwaan pendusta ini didukung oleh orang-orang yang jahil, sehingga mereka memiliki Negara dan kekuatan, dan mendirikan sebuah kota yang diberi nama Al-Mahdiyah dinisbatkan kepadanya, dan dia menjadi raja yang ditaati.
Kemudian diteruskan oleh anaknya Al-Qoim
Muhammad, kemudian anaknya Al-Manshur Ismail, kemudian anaknya
Al-Mu’izzu Ma’din, dialah pertama dari mereka yang memasuki negeri
Mesir, dan dibangun untuknya Kairo Al-Mu’izziyah dan istana-istana
kemudian anaknya Al-Aziz Nazzar, kemudian anaknya Al-hakim Manshur,
kemudian anaknya Ath-Thahir Ali, kemudian anaknya Al-Mushtansir Ma’din,
kemudian anaknya Al-Musta’li Ahmad, kemudian anaknya Al-Amir Manshur,
kemudian anak pamannya
Al-Hafidz Abdul Majid, kemudian anaknya Adh-Dhafir Ismail, kemudian
Al-Faiz Isa, kemudian anak pamannya Al-‘Adzid Abdullah, yang terakhir
dari mereka, yang seluruhnya 14 raja selama 280 tahunan.
Dahulu
Bani Fathimiyyun merupakan khalifah yang terkaya, terkejam dan paling
dholim, yang paling bejat sejarahnya, muncul dimasa mereka kebid’ahan
dan kemungkaran, dan banyak pelaku kerusakan sedikit disisi mereka
orang-orang shalih dari para ulama dan ahli ibadah, dan banyak tersebar
dinegeri syam agama Kristen, Durruziyah, dan Hasyisyiyah..).
Inilah
sekilas dari sejarah mereka supaya mereka yang menghidupkan perayaan
Maulid dan lainnya siapakah tauladan mereka dalam perkara ini sehingga
mereka mengikuti petunjuk dan menyerupai mereka. Sehingga tidak masuk
akal apabila para salafush sholih tidak mengenal hal ini lalu mereka
mengikuti para Ubaidiyyun yang sesat !!
Sultan Irbil dan perayaan Maulid:
Dahulu di Mosul ada ahli zuhud yaitu Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla (dahulu dia memiliki satu ruangan yang selalu didatanginya, dan setiap tahunnya dibulan Maulid ada undangan yang didatangi oleh para raja, pemerintah, para ulama, menteri dan mereka merayakan hal itu)
Abu Syamah berkata dalam kitabnya: “ Al-Ba’its ‘alaa inkaril Bida’I wal hawadits” ketika membahas tentang maulid nabi: (pertama kali yang melakukannya di Mosul Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla seorang yang shalih yang masyhur yang diikuti kemudian oleh Sultan Irbil dan yang lain semoga Allah merahmati mereka).
Dan Sultan Irbil disini adalah Al-Mudzaffar Abu Sa’id Kukburi bin Zaidud diin Ali bin Tabaktakin Sultan Irbil yang wafat tahun (630 H) yang paling terkenal dalam merayakan Maulid Nabi secara berlebihan setelah Ubaidiyyun, dimana dia merayakannya dengan mewah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam sejarahnya, beliau berkata: (berkata As Sabth: telah dihikayatkan oleh sebagian yang menghadiri perayaan Mudzaffar dalam maulid dimana dia menyajikan 5000 kepala bakar, 10000 ayam, dan 100000 susu kering, dan 30000 piring kue manis… dia berkata: diantara yang menghadirinya dalam pesta maulid para ulama, ahli sufi, dan memperdengarkan nyanyian sufi dari dhuhur hingga subuh dan dia ikut menari bersama mereka…).
Dari sini menjadi jelas bahwa perayaan maulid dan semacamnya termasuk kebid’ahan Ubaidiyyun, kemudian diikuti oleh para ahli zuhud dan raja, dan ikuti oleh orang awwam, sebagaimana kita tahu bahwa ini bertentangan dengan nas-nas syarie dan amalan para salafush shalih yang mulia.
Walaupun sebagaimana dikatakan bahwa peringatan ini diperbolehkan oleh sebagian ulama seperti Imam Subki, Suyuthi, atau Ibnu Hajar dan pernah dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, meskipun kita menghargai jasa para ulama besar tersebut bagi kejayaan islam dan kaum muslimin, namun ketika hal itu bertentangan dengan syariat, maka kita lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dan RasulNya shallallahu alaihi wasallam, apalagi diantara ulama yang sekaliber merekapun ada yang menolaknya, jadi kita menolak perayaan ini bukan dengan pendapat kita sendiri.
Seandainya hal tersebut adalah baik, maka pastilah para salafus sholih sudah melaksanakannya, karena mereka ada suri tauladan terbaik dalam kesungguhan melaksanakan ajaran yang baik karena Allah Ta’alaa berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau Sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului Kami (beriman) kepadanya”. [ Al-Ahqaf: 11].
Ibnu Katsir dalam menafisrkan ayat ini berkata: adapun Ahli Sunah Wal Jamaah mereka mengatakan tentang setiap perbuatan atau perkataan yang tidak penah dipastikan dari para sahabat: adalah bid’ah karena seandainya hal itu baik tentulah mereka telah mendahului kita dalam hal itu mereka tidak pernah meninggalkan satu perbuatan baik pun kecuali mereka segera mengamalkannya. Tafsir Ibnu Katsir juz 7 hal 278.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar