Senin, 12 Agustus 2013
Mengungkap Doktrin Mistisisme dan New Age Movement dalam Film Life of Pi
Diadaptasi dari novel karya Yann Martel, penulis berkebangsaan Kanada. Life of Pi diproduksi dengan estimasi budget sebesar seratus dua puluh juta dollar AS berhasil menyabet empat piala Oscar dari sebelas nominasi. Film ini banyak dipuji bukan hanya karena visual effect nya yang memukau, tapi juga karena alur cerita yang unik dan menyentuh.
Plot
Life Of Pi bertutur mengenai seorang penulis atheis yang karena kebingunan setelah merasa gagal dalam karya tulisnya dipertemukan dengan seseorang bernama Piscine Molitor Patel atau biasa dipanggil “Pi”. Demi membantu sang penulis dari kehilangan ide untuk menulis, Pi menuturkan kisah hidupnya yang unik sekaligus dipercaya dapat membuat sang penulis merubah opininya tentang keberadaan tuhan.
Lahir dari orang tua dengan pola fikir renaissance a la India (ayahnya penderita polio yang berhasil sembuh karena ilmu kedokteran barat dan bukan berdo’a di kuil, sedangkan ibunya seorang botanist yang dikucilkan keluarga karena pemikiran “revolusioner”nya), Pi kecil pertama kali mengenal tuhan lewat agama Hindu dengan Wisnu sebagai sosok sentralnya, dan ketika menginjak remaja ia mengenal welas asih dalam Kristen dan persaudaraan serta ketaatan dalam Islam.
Pi Patel : Faith is a house with many rooms
Penulis : But no room for doubt?
Pi Patel : Oh plenty, on every floor. Doubt is useful, it keeps faith a living thing. After all, you cannot know the strength of your faith until it is tested.
Ketika usianya menginjak enam belas tahun, Ayah Pi memutuskan untuk pindah ke Kanada dan menjual hewan-hewan yang ada di kebun binatang miliknya disana. Naas, badai menerpa dan menenggelamkan kapal kargo yang ditumpangi Pi sekeluarga beserta hewan-hewan yang ayahnya bawa. Pi dan beberapa hewan selamat menggunakan sekoci, melewati moment bertahan hidup selama 227 hari ditengah lautan yang kemudian hanya berteman dengan seekor harimau Bengal, hingga kemudian terdampar di lepas pantai Meksiko dan diselamatkan penduduk lokal.
Dalam sesi pemulihan di rumah sakit setempat, Pi, sebagai satu-satunya korban selamat menjalani interview dengan dua orang perwakilan dari perusahaan asuransi terkait tenggelamnya kapal kargo yang ditumpangi Pi sekeluarga. Pi menceritakan semua hal yang ia lalui termasuk perjuangan hidupnya selama 227 hari ditengah lautan bersama seekor harimau. Merasa tidak percaya dengan tutur cerita Pi, para investigator meminta cerita yang “lebih masuk akal”. Pi pun menuturkan cerita yang lebih sederhana dengan memetaforkan hewan-hewan yang selamat naik ke sekoci dengan personifikasi manusia.
Pi Patel : Can I ask you something? I’ve told you two stories about what happened out on the ocean. Neither explains what caused the sinking of the ship, and no one can prove which story is true and which is not. In both stories, the ship sink, my family dies, and I suffer
Penulis : True
Pi Patel : So which story do you prefer?
Penulis : The one with the tiger. That’s the better story
Pi Patel : Thank you, and so it goes with God
New Age Movement, Mistisisme dan Tuhan
Baik novel maupun adaptasi filmnya, Life Of Pi adalah metaphor sederhana dari pengalaman barat dalam pencariannya akan tuhan. Kedua orang tua Pi betul-betul menunjukkan personifikasi dari barat renaissance yang kecewa terhadap agama dan tuhan yang kemudian menggantinya dengan ilmu pengetahuan dan sains, tapi kemudian gagal secara utuh mewariskan nilai-nilai renaissance tersebut kepada penerusnya.
Ayah Pi : I much rather have you believe in something I don’t agree with than to accept everything blindly, and that begin with thinking rationally
Tidak ada penjelasan yang paling gamblang mengenai ketertarikan Pi di usianya yang masih sangat muda (empat belas tahun) terhadap agama dan tuhan kecuali bahwa ia adalah personifikasi dari kegelisahan barat yang kehilangan tuhan lewat gerakan new age movement nya. Ini dapat dilihat dari citra perenialisme yang kuat dibawakan oleh Pi lewat caranya mengasimilasi tiga agama (Hindu, Kristen, dan Islam) dengan berasaskan “kecintaan pada tuhan”. Dan sebagaimana gerakan New Age, Pi mencari tuhan lewat sumber-sumber “alternative” seperti pengalaman-pengalaman mistik-spiritual sebagaimana yang digambarkan lewat perjuangan hidupnya selama di lautan lepas bersama seekor harimau buas.
Sejenak kisah Pi memang sangat menggugah, penuh inspirasi dan romantisme yang memungkinkan pemirsanya untuk menitikkan air mata, tapi apakah kemudian pencarian “tuhan” selesai lewat sekedar ketergugahan hati dan tangis haru?.
Alih-alih menemukan tuhan lewat jalan-jalan mistik spiritual, baik Pi maupun New Age movement terjebak
dalam kabut kerancuan bernama “penafsiran bebas” yang tidak terikat pada apapun. Ini dapat kita lihat pada penghujung film dimana Pi menuturkan dua buah kisah berbeda mengenai bagaimana ia bertahan hidup, dan sang penulis memilih cerita yang lebih “menakjubkan” walau sulit dipercaya daripada cerita yang lebih masuk akal akan tetapi suram dan menyedihkan. “And so it goes with God” timpal Pi dengan entengnya.
“It was my first clue that atheists are my brothers and sisters of a different faith. Like me, they go as far as the legs of reason will carry them – and then they leap. I’ll be honest about it. It is not atheists who get stuck in my craw, but agnostics. Doubt is useful for awhile. We must all pass through the garden of Gethsemane. If Christ played with doubt, so must we. If Christ spent an anguished night in prayer, if He burst out from the Cross, “My God, my God, why have you forsaken me?” then surely we are also permitted doubt. But we must move on. To choose doubt as a philosophy of life is akin to choosing immobility as a means of transportation.”
- Life Of Pi (Novel)
Jika kita merujuk langsung ke novel Life Of Pi, kontradiksinya menjadi semakin terasa ketika Pi secara terbuka mengkritik kaum agnostic dikarenakan besarnya keragu-raguan mereka, yang tanpa disadari sebenarnya pola fikir seperti Pi lah yang melahirkan keragu-raguan agnostic tersebut.
Alhamdulillah, kita sebagai seorang muslim diberikan ajaran yang lengkap dan sempurna sehingga tidak perlu untuk meraba-raba dalam spekulasi liar akan makna dan arti Tuhan. Seringkali orang tergoda untuk mengusik sisi-sisi ghaib ketuhanan, tanpa sadar bahwa ia hanyalah sekedar hamba dengan sejuta keterbatasan.
Wallahu ‘a’lamu bisshowwab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar