Era Film Bisu
Sejak
awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis
telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka
dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka
merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti
para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun,
buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat
sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik
saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”.
Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera
berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.
Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North
(1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang
Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan
waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian
Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan
sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi
ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana
(1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama
kalinya dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di
surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal
perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan
Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.
Sukses
Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest
B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness
(1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di
pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak
sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper,
yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter
berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan
teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya
memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan
teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera
(1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di
Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter
Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.
Era Menjelang dan Masa Perang Dunia
Film
dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya
teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan
teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta
perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk
kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah
Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni
Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk
kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter
penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi
even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang
brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan
lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain.
Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
Perang
Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih
tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film
Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung
perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat.
Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa
di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek
yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas
Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John
Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter
Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang
bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri
film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan
bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen
animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.
Era Pasca Perang Dunia
Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.
Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).
Direct Cinema
Pada
akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter
mengalami perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan
kamera yang lebih ringan dan mobil, jumlah kru yang sedikit, serta
penolakan terhadap konsep naskah dan struktur tradisional. Mereka lebih
spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi
dengan membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview).
Pendekatan ini dikenal dengan banyak istilah, seperti “candid” cinema,
“uncontrolled” cinema, hingga cinéma vérité (di Perancis), namun secara
umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang
menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang
lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi
acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi. Pendekatan Direct
Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan
Perancis.
Di
Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert
Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi
beberapa sineas dokumenter berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don
Pannebaker, serta David dan Albert Maysles. Drew memproduksi film-film
dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya yang
paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini
menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert Humprey di
Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen secara
spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua politisi
tersebut pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato,
dan bahkan ketika tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock,
Pannebaker, dan Maysles meninggalkan perusahaan milik Drew dan
membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa diantaranya memproduksi
film-film dokumenter penting, seperti What’s Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali.
Di Perancis, salah satu pengusung cinéma vérité yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinéma vérité, yakni tidak hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. “You push these people to confess themselves… it’s very strange kind of confession in front of the camera, where the camera is, let’s say, a mirror, and also a window open to the outside” ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan pertanyaan kunci, “Are you happy?”. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui performa mereka di depan kamera.
Sejak
pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang
semakin canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung
Direct Cinema. Sejak awal 60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara estetik melalui gerakan new wave,
seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali menggunakan
kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini
Dalam perkembangannya, Direct Cinema
terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film
dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema
bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk
variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah “rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock: Three Days of Peace & Music
(1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival
musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa
musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film
dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi
film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya.
Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Year’s of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.
Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar