Berbeda dengan presiden lainnya hingga era SBY, ketika itu Presiden Soeharto secara resmi melarang keikutsertaan Indonesia dalam kontes ratu dunia atau semacamnya di luar negeri, baik sebagai peninjau atau peserta, termasuk mengundang ratu dunia ke Indonesia. Keikutsertaan seperti itu dipandang tidak sesuai dengan adat dan kebudayaan Indonesia.
Sehubungan dengan itu, Indonesia pun untuk sementara waktu tidak mengizinkan penyelenggaraan kontes ratu di dalam negeri, sampai masalah itu selesai dibicarakan oleh semua pihak, yaitu organisasi kemasyarakatan, termasuk Kowani, Komisi VII DPR, dan para pakar.
“Itu sudah distop. Jadi tidak boleh sama sekali, dan tidak ada tawar menawar. Tidak ada bargaining. Pokoknya tidak boleh ikut-ikutan, wong itu bukan alam kita, kok. Kan mereka alam Barat, apa yang dilaksanakan mereka belum tentu sesuai di negara kita, dan yang di negara kita juga belum tentu sesuai di negara Barat itu,” demikian kata Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi usai menemui presiden Soeharto, diirilis dari harian Kompas edisi Rabu, 29 Mei 1996.
Kepada Presiden, Mien Sugandhi melaporkan masalah keikutsertaan Indonesia dalam kontes Ratu Dunia. Mien mengatakan, keputusan Presiden itu dikeluarkan setelah mendengar seluruh latar belakang, termasuk laporan lengkap dari Menko Kesra yang membahasnya dalam Rakor Kesra tanggal 21 Mei 1996. Namun bentuk dan rumusan larangan itu, apakah akan dikeluarkan dalam bentuk Keppres atau keputusan lain, masih akan dibicarakan lebih lanjut dalam Rakor Kesra mendatang.
Mien Sugandhi mengatakan, selaras dengan larangan itu, Indonesia perlu pula mengkaji pelaksanaan penyelenggaraan ratu-ratuan di Indonesia. Ditegaskan, masalah kontes ratu di Indonesia itu harus dibicarakan dan dirumuskan bersama antara organisasi kemasyarakatan termasuk Kowani dan Komisi VII DPR RI.
“Kepinginnya itu kayak apa sih ratu-ratuan atau putri-putrian di Indonesia ini. Dengan demikian kita dapat masukan dari organisasi masyarakat wanita di Indonesia ini. Kalau sudah dirumuskan baru dikeluarkan kepada masyarakat yang mau,” katanya.
Walau begitu, lanjut Mien Sugandhi, Presiden masih mengizinkan pelaksanaan kontes ratu yang lebih mengutamakan wawasan seperti Abang-None Jakarta, putri kampus, atau putri pendidikan yang lebih menunjukkan citra Indonesia. “Tapi kalau kirim ke luar negeri dilarang keras. Karena sudah dilarang berarti tidak ada yang mengirim ke sana atau mengundang. Tidak mengundang atau menerima. Karena kita tidak menerima Miss Universe, mereka ke sini mau ngapain?,” kata Ny. Mien Sugandhi.
Namun suasana berubah ketika tahun 2000, di masa pemerintahan Gus Dur, kontes Puteri Indonesia kembali diizinkan, namun pemenangnya tidak dikirim ke kontes Miss Universe maupun Miss World. Kebijakan ini tetap dipertahankan sewaktu Megawati memimpin negara ini. Sayangnya, setelah SBY berkuasa di Istana Negara, pemenang kontes Puteri Indonesia kembali mendapat restu untuk mengikuti kontes pamer aurat sejagad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar