Senin, 05 Agustus 2013
Hukum Tukar Uang Baru (Receh)
Oleh: Muhammad Rifqi Arriza
Mahasiswa Pascasarjana Bidang Tafsir di Kairo
Menjelang lebaran seperti sekarang ini, di samping deg-degan dan galau menunggu hasil sidang isbat Kemenag untuk menentukan awal syawal, ada tradisi unik yg mungkin hanya dilakukan oleh umat Islam Indonesia, yaitu tukar uang baru/receh. Penulis rasa, tradisi ini berkaitan erat dengan tradisi lainnya yang juga mungkin hanya ada di Indonesia, khususnya pada setiap momentum lebaran, yaitu angpao,orang jawa biasa menyebutnya wisit. Semacam bagi rezeki untuk anak-anak kecil yg diberikan oleh sebagian orang tua kepada keluarganya, maupun anak-anak dari masyarakat sekitar.
Pada tulisan singkat ini, penulis ingin mencoba membuat analisa tentang hukum tukar uang baru/receh ini, ditinjau dari berbagai segi. Penulis sangat berharap masukan dan koreksian dari semua pembaca. Semoga bermanfaat!
Bisnis musiman ‘anti rugi’
Banyak kalangan masyarakat yg tergiur dengan bisnis musiman ini, mata pencaharian tahunan menjelang lebaran. Setidaknya ada beberapa hal yg mendasari ketertarikan mereka, diantaranya:
1- Sumber penghasilan tambahan. Lazim kita dapati beberapa waktu sebelum lebaran, kalangan pabrik, perusahaan dan perkantoran meliburkan para karyawannya. Khusus pekerja pabrikan, tentu beberapa hari ini dapat menjadi waktu mencari penghasilan tambahan untuk membelikan baju baru bagi anak mereka. Ada yang lantas berjualan makanan, tukang parkir, dan sebagainya. Tak ketinggalan, sebagian kalangan wong cilikini melirik pangsa ‘bisnis tukar uang receh’. Disamping proses mendapatkan barang yg mudah (mengantri di beberapa bank tertentu), menentukan area penjualan pun mudah, tinggal ngetem di salah satu titik keramaian di kota. Jadilah mereka PKL musiman.
2- Keuntungan lumayan. Penulis pernah bertanya tentang ‘harga’ uang receh yg ditawarkan oleh para penawar jasa tukar uang di kalangan Kudus, tepatnya depan masjid agung kota Kudus. Pada tahun 2009 yg lalu, penulis juga mendapati beberapa penawar jasa tukar uang baru di salah satu terminal Jakarta. Ternyata, rata-rata dijual dengan tambahan 10%. Jika uangnya 100 ribu, maka harus bayar 110 ribu. Atau 100 ribu ditukar dengan 90 ribu receh. Begitu seterusnya. Cukup besar bukan?
3- Bisnis ‘anti rugi’. Kok bisa? Tentu saja. Karena terjual atau tidak, ada yg menukar uang kepada mereka atau tidak, uang tersebut tetap ada di tangan mereka. Terjual mereka untung, tidak terjual pun, uang tersebut dapat mereka belanjakan juga. Benar-benar ‘bisnis anti rugi’.
Terkena hukum riba fadl?
Riba fadl adalah riba yg terjadi pada pertukaran dua barang yg sejenis dengan memberikan tambahan pada salah satunya. Dalam banyak hadis disebutkan, ada 6 jenis barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum, jelai –sya’ îr- (padi-padian yg biji atau buahnya keras), kurma dan garam. Nabi Saw. mengajarkan, penukaran pada satu jenis barang ribawi ini tidak boleh ada perbedaan. Satu dinar dengan satu dinar, satu dirham dengan satu dirham. Kecuali pada barang berbeda jenis, satu dinar ditukar dengan 10 dirham atau sebaliknya, tidak masalah. Begitu juga pada 4 jenis barang ribawi lainnya.
Uang kertas masuk barang ribawi? Iya, sebagaimana dipandang oleh kalangan ulama Malikiah dan Syafiiah. Menurut mereka, ‘illah (logika) keharaman pada emas dan perak adalah digunakan sebagai mata uang -alat tukar- (al-tsamaniah). Dan uang kertas pada masa sekarang ini digunakan memang sebagai mata uang. Hampir tidak ada lagi negara yg menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar yg sah.
Bahkan menurut kalangan ulama Hanafiah, semua yg dapat ditakar dan ditimbang adalah barang ribawi, tidak boleh ada perbedaan dalam pertukaran barang sejenis di dalamnya.
Menguatkan pendapat ulama Malikiah dan Syafiiah tentang masuknya uang kertas pada kategori naqdain (emas dan perak), bahwa jumhur ulama kontemporer telah memasukkan uang kertas ke dalam kategori naqdain, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini disampaikan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.Jika dalam zakat, uang kertas masuk kategori naqdain, tentu ia juga dapat dikategorikannaqdain dalam riba fadl.
Maka, jika kita mengikuti pendapat para ulama besar ini, praktek tukar uang receh menjelang lebaran adalah tidak boleh. 100 ribu rupiah tidak boleh ditukar dengan 90 ribu receh, dan seterusnya.
Pakai akad wakalah bil ajr atau ijarah?
Sebagian kalangan berpendapat, bahwa tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Menurut penulis, hal ini tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah setiap waktu. Bahkan sebagian ulama tidak membolehkan pakai persentase, harus memakai nominal yg jelas. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yg dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yg lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Di sisi lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si Ahmad ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Sekali lagi, meng-qiyas-kan praktek penukaran uang receh dengan akad wakalah bil ajratau ijarah tidak tepat.
Pakai kaidah darurat?
Dalam usul fikih, jika seorang muslim berada dalam keadaan sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keharaman, maka keharaman tersebut menjadi boleh, dengan syarat tidak melebihi kebutuhan mendasar. Para ulama menyebutnya; الضرورات تبيح المحظورات dan الضرورة تقدَّر بقدرها, kedaruratan dapat membuat halal keharaman, dan kedaruratan harus diukur dengan kadarnya (sesuai kebutuhan).
Menurut hemat penulis, kaidah darurat juga tidak tepat digunakan dalam konteks ini. Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, apakah angpao/wisit begitu mendesak? Dan menjadi kebutuhan primer pada setiap momentum lebaran?
Memang ada kaidah lainnya yg menyatakan; الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة, suatu hajat –kebutuhan- dapat menjadi kedaruratan (mendesak). Tapi sekali lagi, memberikan angpaoini pun tidak dapat ditarik kepada kaidah ini. Dapat dikatakan, bahwa angpao adalah kebutuhan tersier, sama sekali tidak dosa jika kita tidak melakukannya.
Lalu, solusinya?
Jika kita setuju dengan analisa ini, tentu kita harus menjauhi tukar uang receh yg sedang banyak terjadi ini. Jika memang ingin menukar uang receh, datanglah ke Bank Indonesia, karena mereka tidak memungut biaya sepeserpun darinya, 100 ribu ditukar dengan 100 ribu. BI juga menugaskan beberapa bank untuk membantu pelayanan tukar uang receh ini. Bahkan BI mengirimkan mobil-mobil stan penukaran uang di beberapa titik di ibukota (Jakarta) dan sekitarnya.
Jika memang malas mengantri atau tidak ada waktu, bisa saja kita pakai akad wakalah bil ujrah, yaitu menugaskan satu orang untuk mengantri dengan memberikan upah setelahnya. Tentu dengan mengindahkan rukun dan syarat akad wakalah.
Disamping sisi-sisi syariah di atas, tukar uang baru di jalanan juga riskan disusupi uang palsu. Hal ini diwanti-wanti juga oleh pihak BI dan kepolisian.
Pada akhirnya, tulisan ini bukan ingin menjadi penghalang rezeki sebagian wong cilik yg ingin menambah penghasilan menjelang lebaran. Tulisan ini hendaknya dibaca sebagai wujud kehati-hatian kita dalam bermuamalah. Karena sesungguhnya, dosa yg ditimbulkan oleh kesalahan praktek muamalah tidak kalah dengan dosa lainnya.
Dalam konteks riba, semua pihak yang mensukseskan terjadinya akad ribawi terkena ancaman dari Allah. Sabda Nabi Saw.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“dari Jabir ra., beliau berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, notulen (penulis), dan dua saksi atasnya. Rasulullah menambahkan; mereka semua sama dalam hal ini –dosa- (HR. Bukhari)”.
Nauzubillah min zalik. Semoga kita semua dijauhkan dari dosa riba ini. Allahumma aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar