SEPERTI biasa setiap bulannya jadwal penjengukkan orang tua tiba. Anak-anak penghafal al-Quran itu tentunya bahagia tak terkira, karena akan bertemu dengan orang yang sangat mereka sayangi. Pada hari itu mereka diperbolehkan keluar dari area asrama pesantren dan diajak pergi kemana saja. Namun kebanyakan orang tua mengajak mereka pergi ke supermarket, ‘itung-itung’ membeli simpanan makanan ringan untuk satu bulan ke depan.
Begitu juga dengan Husna, ia baru saja duduk di kelas 1 SD. Hari itu dia diajak umminya pergi ke supermarket, setiba disana Husna pun berbelanja berbagai makanan yang ia suka. Setelah selesai pastinya pembayaran di depan kasir pun dilakukan. “Mi, Husna pengen roti yang itu rasa coklat itu lho mi,” tiba-tiba setelah selesai transaksi Husna menginginkan sebuah roti.
Husna mengambil roti seharga Rp. 8.000,- dan tinggal roti itu yang harus dibayar. Padahal umminya sudah tidak memiliki uang receh, digunakanlah uang selembar seratus ribuan. Kebetulan di kasir sedang tidak ada uang recehan. “Ada uang kecil bu?” tanya sang kasir. “Aduh nggak ada mbak,” sahut ummi Husna. “Bawa aja rotinya mi,” celetuk Husna. “Nggak boleh dong Husna,” jawab ummi Husna.
Kasir itu pun mencari uang kembalian di kasir yang lainnya. Selesai mencari, transaksi pun selesai. Husna bersama sang ummi pun kembali ke mobil mereka. “Ummi mah kelamaan, kan kata Husna juga ambil aja rotinya. Ikhlashin aja,” lagi-lagi Husna nyeletuk. “Nggak boleh dong Husna, kalau nggak bayar apa bedanya kita sama pencuri?” jawab ummi. “Maksud Husna, ikhlashin kembaliannya,” tutur Husna. “Ya ampun Husna, ikhlashin sih ikhlashin tapi kan Rp. 100.000,- dikurang Rp. 8.000,- jadi Rp. 92.000,-.”
Itu hanyalah sebagian kecil dari celotehan polos anak kecil yang seringkali mengena dalam hati kita. Kebanyakan dari kita terbiasa dengan mengikhlashkan hal yang memang kecil. Contoh kembalian tadi, kalau kembaliaannya kecil baru kita ikhlash. Merasa tidak ada beban atas sesuatu yang hilang dari genggaman. Merasa kembalian itu hal ‘sepele’ dan jangan-jangan itu bukanlah bentuk keikhlashan yang sebenarnya.
Kita harus belajar dan memikirkan, ikhlash jenis apa yang selama ini kita ‘rasa’ lakukan. “Nggak apa-apa sedikit juga yang penting ikhlash,” atau memang karena anak-anak itu spontan jadi ikhlash itu sama dengan spontanitas? Terkadang kebanyakan dari kita berpikiran karena Rasulullah Saw. itu dima’shum makanya berakhlaq mulia. Jadinya kita beranggapan hanya bisa berbuat sedikit saja dari hal yang dilakukan kekasih Allah Swt. Padahal sudah jelas disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pun manusia biasa seperti kita, bukan dari golongan malaikat.
Atau bahkan ikhlash itu menjadi seperti penyesalan yang datangnya belakangan dan tidak pernah diniatkan di awal. “Ya sudahlah ikhlashin aja semuanya.” Ikhlash atau justru pasrah? Ada juga yang terjadi dengan para wanita yang mengagumi seorang lelaki, kemudian lelaki itu menikah lebih dahulu daripada sang wanita. Seringkali berkata,”Udah ikhlashin aja.” Apa yang harus diikhlashkan jika memang sesuatu itu bukanlah milik kita? Kita juga belum tahu jodoh yang terbaik itu memang dia atau bukan? Dan yang salah adalah diri yang terlalu berharap kepada manusia hamba-Nya. Sudah jelas bahwa berharap kepada Allah Swt. lebih indah dan membahagiakan daripada berharap kepada selain-Nya.
Terlepas dari apakah ikhlash itu harus selalu kecil? Itu yang harus kita jawab dengan nurani dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Tapi yang pasti, kita diajarkan untuk senantiasa memperbaharui niat. Meluruskan kembali niat-niat yang sempat dibelokkan oleh syaitan, musuh nyata manusia. Mengingat kembali bahwa segala yang kita lakukan itu adalah untuk ridho Allah semata. Wallahu a’lam bishshowwaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar