Minggu, 21 Desember 2008
Selasa, 04 November 2008
cerpen
Organ Tunggal
Indrian Koto
Mahen betul-betul meradang. Ia merasa sangat marah melihat pertunjukan organ tunggal yang berlangsung di halaman samping rumahnya itu. “Ini sudah keterlaluan, tidak ada toleransi untuk maksiat macam begini.”
Ia merasa tidak bisa terima pakaian penyanyi seminim itu. Tanpa risih sedikit pun ia melenggok di panggung dengan rok yang jauh di atas lutut sehingga memperlihatkan celana dalam hitam ketatnya, baju tanpa lengan yang memperlihatkan pusar dan sebagian perutnya serta membiarkan punggung bagian atasnya terbuka.
“Memang begitu tradisinya, Bang.” Mugil, adiknya menanggapi. “Namanya juga menghibur.”
“Dia menghibur dengan nyanyian atau tubuhnya? Kau mengundang organ tunggal untuk mendengar musik bukan? Bukan untuk tubuh terbuka dan goyangan demikian.” Sungutnya.
“Ya bagaimana lagi?!” Mugil menjawab setengah kesal setengah bercanda. “Sudah satu paket dari sananya.”
Mendengar itu Mahen kian marah dan berbalik meninggalkan adiknya yang hanya bias melongo.
Mugil menggaruk kepalanya. Ia heran dengan tingkah kakaknya. Bukankah organ tunggal memang identik dengan goyangan. Soal pakaian, itu kan hanya baju panggung. Mugil mengenal satu-dua orang penyanyi organ tunggal. Bahkan dia juga nyaris berpacaran dengan Lisya, salah satu artis organ tunggal yang agak populer dan masih sekolah. Jika itu terjadi yang menjadi pendampingnya sekarang bisa-bisa bukan Yeyen. Atau sama sekali belum menikah saat ini. Siapa tahu!
“Kalau tidak berani begitu, tak akan ada yang mau ngajak kita manggung, Bang.” Mugil ingat kata-kata Lisya dulu. “Mana ada orang mau mengundang kita yang menyanyi dengan pakaian rapi.”
Mugil paham akan hal itu. Ia biasa dengan hiburan organ tunggal dan hampir selalu mengikuti di setiap hajatan. Lisya benar, jika penyanyi tidak berpenampilan seksi mana ada yang mau menonton pertunjukan itu. Dan biasanya, sepanjang yang dibicarakan juga soal artisnya, cantik-tidak cantiknya, soal goyangnya, dan semacamnya. Tak ada pembahasan masuk ke soal suara dan teknik bernyanyi. Baginya, lagu apa pun yang dibawakan para penyanyi oke aja. Yang penting goyangnya, bung!
***
Ujang Korea yang menjadi MC sekaligus yang mendapat tanggung jawab kelompok organ tunggalnya, merasa kalang kabut setelah didamprat Mahen. Ia bingung sekaligus heran, biasanya tuan rumah yang meminta penyanyi organ yang cantik dan berpakaian yang lebih terbuka. Tetapi kali ini kok ada tuan rumah yang tersinggung karena pakaian artisnya?
“Pokoknya, kalau sampai artismu tidak berganti pakaian, acara ini akan dihentikan pada pukul dua belas pas.”
Ujang melongo. Jika berhenti jam 12 malam, teman-teman pemuda yang setengah teler itu bisa ngamuk. Padahal di jam-jam itulah para pemuda bertingkah agresif, meminta dinyanyikan lagu dengan irama triping dan para penyanyi organ harus bergoyang lebih hot. Inilah puncak acara bagi pemuda dan pertunjukan kebolehan bagi sang artis. Pemuda terhibur, tuan rumah senang, si artis bisa terkenal!
Ia lalu mengadu pada mugil.
“Kami tidak ada masalah sebenarnya kalau acara ini diberhentikan jam 12 malam atau sekarang. Tapi kami ndak tanggung jawab kalau pemuda nanti pada ngamuk.” Cerocos Ujang Korea.
Mugil melamun sejanak. Wah, gawat juga! Pikirnya. Ia serba tidak enak. Kakaknya ini baru beberapa hari ini di rumah. Ia sengaja pulang ke rumah untuk merayakan lebaran sekaligus ingin melihat pernikahan adnya. Ini kepulangan pertama sejak empat tahun belakangan. Semula bahkan Mugil berpikir kakaknya itu tak akan pulang menyaksikan pernikahannya ini. Di kampung ini, tidak etis seorang adik melangkahi kakaknya dengan menikah lebih dulu. Untuk membicarakan pernikahan melalui telepon pun Mugil merasa begitu sungkan dan hati-hati. Tetapi kakaknya yang kuliah di Yogyakarta itu terdengar sangat riang mendengar kabar tersebut dan berjanji akan segera pulang jika acara pernikahan itu bertepatan dengan waktu liburnya.
“Memang harus begitu,” ucap kakaknya dari seberang. “Jika merasa sudah mampu harus segera menikah. Agama menganjurkan berbuat demikian, agar tercipta keluarga yang mawaddah warahmah…”
Kakaknya tidak bertanya lebih jauh lagi soal siapa calon istrinya atau tempat tinggal dan semacamnya. Ia lebih banyak memberi nasehat dan dukungan. Mugil tentu sangat senang mendengar reaksi kakaknya itu.
Setelah melakukan rapat dengan keluarga besar, akhirnya pernikahan itu disepakati akan diadakan selepas lebaran, agar kuliah Mahen tidak terganggu lantaran kepulangannya tersebut. Dan kini, kakaknya ngamuk, itu membuat Mugil tak enak hati. Ia tak ingin kakaknya kecewa, tetapi ia juga tak ingin mengusik ketenangan orang-orang dan kawan-kawannya yang menonton.
Mugil tahu, kalau kakaknya tidak senang dengan sikap kawan-kawannya tersebut. Mereka meminta minuman dan rokok pada tuan rumah. Tetapi hal itu bukan pula rahasia. Siapa pun yang bikin hajat untuk acara apa pun, sudah menyiapkankan hal tersebut. Itu menjadi tradisi bagi anak muda dan pemilik hajatan. Mereka sudah menyiapkan berbotol-botol minuman, berslop-slop rokok untuk para pemuda setempat untuk keberlangsungan acara.
. “Tidak ada uang untuk membeli minuman haram, tidak ada uang untuk rokok dan keamanan segala. Kalau mereka mabuk dan terus merokok, bukannya keamanan yang tercipta…” Kata Mahen menentang
Mugil mengiyakan keinginan kakaknya tersebut, tetapi diam-diam tetap memberi lembaran uang pada teman-temannya untuk membeli minuman dan rokok.
Mugil tak tak ingin bertengkar soal tradisi anak muda dengan kakaknya itu. Sudah pasti akan sangat bertentangan. Dulu, pernah terjadi pertengkaran hebat antara kakaknya dengan sahabat ayahnya gara-gara omong-omong soal partai. Teman sang ayah ngambeg. Mahen dibujuk-bujuk untuk meminta maaf. “Meminta maaf apa? Bukankah dalam sebuah debat ada ide yang paling unggul? Dia saja yang tidak bisa menalar logikaku.”
Pada akhirnya, sang bapaklah yang mengalah dan kembali berkunjung. Untunglah tak terjadi pertengkaran lagi. Selama kunjungan itu tak satu pun yang mengungkit sesuatu yang sifatnya ideologis.
“Bagaimana kalau kau turuti saja keinginan dia, Jang?” Ucap Mugil putus asa.
“Menuruti bagaimana?” Tanya Ujang Korea bingung.
“Ya, suruh semua artismu ganti baju. Yang lebih sopan saja…”
“Lho bukankah biasanya juga begitu? Yang diprotes cuma Sheila. Dian Arista dan Yayuk Pratiwi ndak masalah. Sheila Pustipa kan bintang organ kami. Kalau dia pakai baju tertutup wah bisa ngamuk Bos Tasman. Bakalan gak laku organ ini.”
Mugil mengangguk bingung.
“Kamu tahu kan, Sheila itu sedang naik daun? Tak gampang mengajak dia untuk main di acara kita. Ini karena aku yang ngajak. Dan aku mengajaknya juga karena kamu kawanku, lo..”
“Iya, aku paham. Tapi bagaimana usulku tadi?” Mugil kembali menawar.
“Bukan kami menolak. Mereka bawa kostum panggung kan cuma satu. Nyari di mana sekarang? Nah, kalau diberitahu sama Sheila, kemungkinan dia bisa tersinggung. Apa yang mereka pakai kan sudah standar pentas?”
***
“Ndak bisa lagi, Bang. Kalau dari awal dibilangin tentu akan lain masalahnya. Kita juga ndak bisa menghentikan acara ini begitu saja.” Kata Mugil pada kakaknya yang sedang marah itu.
“Ndak bisa bagaimana? Orang yang mengundang mereka itu kita. Mereka kan kita bayar untuk mengikuti permintaan kita. Kalau kita bilang berhenti sekarang mereka juga harus berhenti.”
“Bukan itu perkaranya. Anak-anak muda bisa ngamuk kalau sampai acara dihentikan.”
“Kalau begitu, mereka, para artis itu harus berganti pakaian yang sopan. Apa kau tak malu, melihat penyanyi setengah telanjang itu. Hei, keluarga besar kita sedang berkumpul lho. Kau tak malu pada Meksi adikmu. Apa kau senang melihat Nanda, dan ponakan-ponakanmu yang lain melihat goyangan porno tersebut?”
“I-iya..!! Tapi…”
***
Rapat keluarga kemudian digelar. Mahen memaparkan lagi hal-hal yang dia tidak senangi dari pertunjukan itu.
“… Ini menunjukan kelemahan iman kita.” Kata Mahen setengah emosi mengakhiri kalimatnya. Mugil dan ibunya saling pandang. Bapaknya tampak bergetar menahan diri. Hampir dalam banyak hal Mahen selalu bertentangan dengan bapaknya. Laki-laki di atas limah puluhan itu biasa dipanggil Dukun oleh orang-orang. Mahen yang paling tak suka dengan panggilan itu.
“Sudahlah, kita ikuti saja kata kakakmu itu, Gil.” Ibunya kemudian bersuara.
Tapi bapaknya tidak setuju. “Kenapa harus meributkan soal iman. Inikan hanya hiburan. Biarkan sajalah…”
“Ini mengundang dosa ke rumah sendiri…” Mahen segera memotong.
“Kalau dia beriman tak akan dia terpengaruh melihat itu. Selama ini tak ada yang merasa kalau itu mengumbar birahi. Mereka tahu itu bagian dari pertunjukan dan bukan porno. Kamu tahu apa soal itu...”
“Bukan porno bagaimana. Orang jelas-jelas dia telanjang di depan umum.”
“Menurutmu, dia harus pakai jilbab? Kalau dia berceramah tempatnya kan di masjid.”
Mahen ingin bicara, tapi cepat-cepat dilerai ibunya. Perempuan itu kemudian menggiring suaminya menjauh. “Ndak elok bertengkar di hari baik ini.”
“Anakmu itu sudah disekolahkan jauh-jauh kok malah makin bodoh saja. Sudah besar di kota masih saja pikirannya seperti itu. Ini salah, itu salah, apa-apa salah.” Maki si Bapak.
Sementara, Mugil juga berusaha membujuk kakaknya yang tampak emosi itu.
Setengah berbisik, setengah memohon Mugil berkata, “Saya tahu pemikiran Abang akan bertentangan dengan keinginan Ayah dan yang lainnya. Tapi, ini kan hari istimewa saya. Abang tak ingin membahagiakan saya di hari istimewa ini?”
“Sekarang, terserah Abang saja bagaimana baiknya. Di sini yang paling tua kan Abang.” Mugil melanjutkan. “Kalau memang acaranya dihentikan sekarang, ya kita hentikan saja. Ndak apa-apa. …”
Mendadak ruangan itu menjadi lengang. Di luar terdengar suara genit berteriak pada penonton, “Masih mau digoyang sayang? Tapi goyangnya bareng-bareng ya, biar enak..”
Yogyakarta, 2008
(kado pernikahan Mugil dan Yeyen 10 Oktober 2008 )
Jumat, 31 Oktober 2008
cerpen
Menuju Pulang
Indrian Koto
Semakin jauh, semakin kau terseret warna baru. Segala yang tampak menjadi begitu akrab bagimu. Jalan kecil dan sempit, tikungan dan belokan, bukit dan jurang dalam, kampung, hamparan padang, sungai jernih dengan batu-batunya yang hitam-tajam, jembatan kayu, sawah dan taratak, pondok dan bukit yang terkungkung kabut putih. Kau merasa begitu mengakrabinya, begitu mengenalnya. Setiap tempat yang rasanya begitu manis kau rasa sebagai akhir perjalanan. Kau merasa semakin terikat di tempat ini.
Bis tetap melaju, matamu semakin kuat menyapu. Selalu ada yang indah, selalu ada yang mendebarkan.
Setiap itu pula, kau ingin seseorang yang ada di sampingmu terbangun dan berteriak pada sopir, “Kiri, Pir. Kiri!” sebagaimana teriakan penumpang yang hendak turun. Tapi tidak. Tempat-tempat yang kau rasa sebagai puncak perjalanan ini belum juga tiba. Kau berdebar, di tanah mana kiranya bis ini akan berhenti, pintu yang mana pula kiranya nanti akan kalian masuki? Setiap pintu, kau lihat, selalu terbuka. Seperti menampung siapa saja dan mempersilahkan dirimu masuk dan tenggelam di dalamnya.
Kau tak berani bertanya. Kau tak berani mengusik debar hatimu. Dia seolah ikut membiarkan dirimu larut dalam debar semacam itu.
Setiap simpang, setiap belokan kau harap sebagai pemberhentian terakhir. Bagian lain hatimu tetap penasaran, setelah ini, di balik jalan ini, tersimpan kejutan apalagi? Adakah yang baru setelah ini? Uuh, perjalanan yang baru, selalu menyisakan debar dan kau yakin, kau tak akan begitu saja bisa melupakannya. Di tanah ini, segalanya serupa pekasih, serupa mantra yang membuatmu selalu merindukan apa pun, mengenang apa pun, dan mengajakmu selalu ingin pulang.
Kau melirik ke bangku di sampingmu. Dia masih tetap terpejam. Kau berpikir, jangan-jangan perjalanan ini seharusnya sudah selesai dari tadi. Di sebuah tempat yang tadi kau rasa begitu akrab, seharusnya di sanalah kalian turun. Tapi melihat ketenangan di wajahnya, kau meragukan itu semua. Sebagaimana dia bilang, “Ingatan tak bisa ditipu. Aku akan tahu di mana kita nanti berhenti tanpa perlu diingatkan. Dari aromanya aku tahu, sadang berada di kampung mana.” Dan kau yakin, dia tidak akan bisa ditipu rasa kantuk dan melewati halaman rumahnya begitu saja.
Tetapi bagaimana kalau seandainya benar-benar dia tertidur dan lupa akan tempat di mana seharusnya kalian berhenti? Dan itu bisa saja terjadi mengingat begitu lamanya ia tak lagi menjejak tanah ini.
Seperti membaca pikiranmu, ia menggeliat bangun. Membuka mata dan menatapmu. “Sampai di mana ini?”
Kau mengangkat bahu. Bagaimana kau tahu ini di mana, karena segala tempat benar-benar asing bagimu. Kau tak tahu bis sedang menuju ke mana. Kau tak sepenuhnya mengerti arah, meski pun kau tahu bis ini pasti mengarah ke Selatan. Tapi kau tak tahu di mana Taratak, di nama Lansano, di mana Surantih. Dan sekarang, di antara laju kendara, kau tak tahu tempat apa yang sedang kalian lewati ini. Tak ada petunjuk yang mampu membuatmu paham ujung perjalanan. Satu-dua tempat memang memiliki papan mana yang kecil dan kelabu. Kau tak bisa menjadikannya sebagai petunjuk. Kalau pun terbaca Tarusan, Pasar Baru, Salido atau Painan, kau tak tahu itu ada di mana. Dan Lansano entah berada di titik sebelah mana pula pada bagian jalan ini.
“Ngantuk? Tidurlah.” Katanya setelah sesaat melirik ke luar jendela. Setelah itu ia meluruskan duduknya. Dari sikapnya, kau tahu, dalam sekejab dia sudah mengenali daerah yang sedang kalian lewati.
Kau mengurungkan pertanyaan, “masih jauh?” Kau tak ingin debarmu berhenti sampai di sini.
“Bagaimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?”
Kau menanggapi dengan senyum. Kau melirik wajahnya yang seketika tampak cerah. Rasanya ia jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya.
Kau merasa cemburu padanya. Dirinya seperti dilemparkan jauh ke masa remaja. Kau merasakannya sejak kalian meninggalkan terminal bayangan siang tadi. “Bagaimana mungkin sebuah kota tidak memiliki terminal?” Kau meledeknya tadi ketika kalian diseret-seret calo angkutan. Tapi dia tak terusik sama sekali.
Di bis, dia melupakan panasnya kota. Kaca bis yang dibiarkan terbuka tak cukup membuat tubuh kalian berhenti dari keringat. Tetapi dia, di antara hujan keringat masih saja bisa bercerita dengan riang, tentang perjalanan yang nanti akan kalian lewati; laut, gunung, kampung, sawah, gunung, laut, kampung, sawah gunung… Dia sama sekali tidak terusik dengan penjual bengkoang, ia seperti melupakan pedangang keripik balado, pengamen dan peminta-minta.
Suaranya tenggelam bersama dentuman musik yang diputar dengan keras dan mesin bis yang digas dengan kencang. “Beginilah cara mereka memaksa penumpang naik. Padahal mereka baru akan jalan kalau bis ini penuh.” Katanya. “Sejak terminal kami dipindah dan diganti plaza, sejak itu pula kami kehilangan sesuatu yang berharga.”
“Kota tanpa terminal,” katamu, “semakin memperlihatkan identitas kota ini; keras, kasar dan kurang disiplin.”
Dia hanya tertawa. “Sehabis ini, kau akan melihat laut dan semata-mata laut. Kemarahanmu akan digantikan rasa kagum.”
Kau tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini. sebuah pulang, tentu memiliki hasrat yang tersembunyi. Tapi setidaknya dia benar, sepanjang jalan kau diusik pemandangan di luar jendela yang tak pernah kau temukan sebelumnya; jalan membentang di pinggir laut, teluk yang serupa danau, di mana ombak hanya riak kecil di celah batu. Tikungan, jurang terjal yang membuatmu merinding. Di bawah semata laut, batang kepala, perahu nelayan dan bis yang berselisih di jalan sempit.
Kau merasa begitu cemburu padanya. Mencemburui kepulangannya. Meskipun kau beserta, tapi kau ragu, apakah kau akan tetap muncul di antara bayang-bayang kampung halamannya? Ia sering menceritakan kampungnya padamu, tempat ia dilahirkan tumbuh dan dibesarkan. Tempat ia mengenal banyak perempuan.
Sebuah pulang, kau merasa seperti mengumpulkan serpih kenangan.
“Kenapa? Berdebar ya?” Dia bertanya sambil tertawa.
“Aku tidak bisa membayangkan suasananya.”
Dia tergelak. “Tentu saja kau akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena kamu perempuan yang cantik. Orang baru akan disambut berlebihan.”
Ah, dia tak pernah tahu apa yang ada di pikiranmu. Dia tidak akan pernah tahu. Kepulangan yang tanggung. Ini lebih dari kerinduanmu pada sebuah tempat asing dan jauh. Lebih dari sebuah keinginan untuk bertamu.
“Kenapa melamun?”
Kau tersenyum. “Ya. Aku cemburu padamu. Pada kepulanganmu. Kerinduanmu pada masa lalu akan segera terobati.”
Dia menatapmu tak mengerti.
“Kau masih memiliki tempat untuk pulang. Tempat di mana kau tak hanya bertemu ayah-ibu dan menumpahkan rindu pada rumah. Kau masih memiliki tempat mengeja silsilah. Di tanahmu, bisa kau temukan jejak leluhur. Tempat yang masih bisa kau ziarahi berkali-kali.” Ucapanmu terdengar begitu pilu.
Dia mengusap rambutmu. “Tak mesti begitu. Banyak yang punya kampung halaman tapi tak berniat menengoknya. Dan aku juga tidak sedang pulang. Bukankah kita hanya sekedar singgah?”
Kau diam.
“Setidaknya kini kau punya alamat baru yang tak hanya sekedar kau hapal di kepala. Kau boleh merindukannya, mendatanginya dan menjadikannya rumah baru. Bayangkanlah kau menuju pulang, menuju rumahmu, menuju kampung leluhur.”
Dia mengambil tanganmu, meremasnya dengan lembut. “Aku pernah bilang bukan, nanti setelah kita menikah, ketika hidup kita lebih baik, kita akan menyusuri kampung halamanmu. Mengenali seluruh riwayat yang barangkali masih sisa.”
“Sudah tak ada yang sisa.” Ucapmu, nyaris tersedu. “Aku ingin menyalahkan Bapak yang tak berniat mengenalkan aku pada kampung halaman. Setelah aku besar dan ingin menyusuri garis keturunan, segalanya sudah tak ada. Hanya puing dan bangunan asing tertanam di sana. Tak ada makam leluhur lagi.”
Dia mendesah. “Kepulangan ini, semoga—dan itu harapanku—bisa mengenalkanmu pada kampung baru. Setidaknya kelak bagi anak-anak kita. Mereka akan belajar mengarang dan menulis cerita ‘Berlibur ke Desa’, atau ‘Berlibur ke Rumah Nenek’.”
Kau tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya.
“Aku berdebar, sayang.” Bisikmu di antara berisik lagu-lagu Melayu dari tape bis yang menderu kencang.
“Aku juga. Aku berpikir tentang banyak hal. Rumah, keluarga, kawan-kawan…”
“Masa lalumu, juga?”
Dia tersenyum. “Tentu saja. Aku merindukan semuanya.”
Kau mendesah pendek. Jujur, tiba-tiba kau merasa iri. Kepulangannya adalah semacam balas dendam untuk sekian tahunnya yang hilang. Tentu akan disusurinya banyak hal sekaligus. Peristiwa-peristiwa yang berserak di mana pun nanti dia menginjak tanah. Ia punya tanah kelahiran, kampung leluhur, tentu dia memiliki banyak peristiwa yang bersisa di sana.
Dan dia, aduh, tidakkah para gadis yang sering dibicarakan padamu dulu akan ia temui pula kini. Gadis kampungnya sendiri, tetangga rumah yang manis. Mengajarkannya rindu dan berharap. Kalau pun mereka sudah berkeluarga tentu saja kesempatan bertemu itu besar. Bukan tak mungkin peristiwa-peristiwa manis akan berjatuhan satu-satu, merangkai kisahnya sendiri.
Kau mengingat beberapa nama yang sering dibicarakannya. Maria, Yuni dn Inof. Bagaimanakah reaksi mereka atas kepulangan kalian ini? Ah, ah, kau tak bisa menebak apa pun kini. Segalanya begitu penuh. Segalanya terasa penuh. Membuat debar jantungmu semakin kencang. Pulang, setelah hampir du tahun pernikahan kalian. Sebuah pulang yang entah bisa disebut apa.
Apa yang akan pertama kau lakukan? Kau kembali teringat roman-roman lama. Roman-roman yang sesekali kalian tertawakan. Entahlah, kali ini segalanya memenuhi perutmu, serupa bayi yang bersembunyi di baliknya.
Dulu, kalian pernah merencanakan sebuah pulang untuk bulan madu. Singgah di kampungnya selanjutnya menyusuri sisa riwayat keluargamu di ujung pulau. Tetapi kau sudah tak berniat melanjutkan rencana itu. “Sudah tak ada yang sisa. Kampung-kampung baru bermunculan menghapus riwayat lama.”
Tetapi demikianlah. Kalian akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Sebuah pulang yang kalian rancang begitu lama. Kau mengenal keluarganya dari cerita yang mengalir dari mulutnya. Dan kini, pada kepulangan ini, dadamu berdegup kencang, bagaimana reaksi keluarganya? Dan kalian sepakat untuk tidak mempercakapkan hal ini. Kalian telah menghabiskan banyak waktu membahasnya.
Dia menyikut bahumu. “Sudah sampai,” Bisiknya padamu. “Pir, kiri, Pir! Kiri!!” Dia berteriak lantang.
Bis menepi, bergerak pelan, kau berdebar lebih kencang.
Yogya, Mei 2008
Rabu, 29 Oktober 2008
HUmor
Orang idiot
Q : Bagaimana membuat orang idiot tertawa pada hari senin?
A : Ceritakanlah sebuah humor pada hari minggu.
Selasa, 28 Oktober 2008
kalau aku nilis gini ada yang berkunjung gak ya?? cek-cek aja
adik, tente, ponakan, mama, papa, semua baik-baik saja, baik, sehat.
tetangga, teman, cewek, sma, lugu, gratis, banyak banget deh
gadis, janda, pembantu, tukang kebun, satpam, semua manusia lo.
2935 pengunjung hari ini.
tambah lagi nih:
enak, ooh..!!, aku jatuh. aku gak tahan, pegel nih berdiri terus. basah nik, ujan-ujanan.
liar banget nih imajinasi. masukin.. dong motornya... pelan-pelan dong jalannya...
kakak iparku orangnya baik. sepupuku banyak banget. kisah-kisah incest (inses) masa sih ada?
perawan. dijilat dong es krimnya.
bla.. bla.. bla..
susah banget sih mancing orang biar baca blog ini...
Senin, 27 Oktober 2008
mau diapain ya blog ini?
aklu itu penulis pemalas yang tak terlalu paham dengan teknologi dan selalu berhitung dengan kantong jika ke warnet. tetapi saya mempunyai beberapa blog yang tidak jelas ujung pangkalnya. ini misalnya, kayaknya gak ada yang tahu dnegan keberadaan blog ini sama sekali.
nah aku harus bagaimana? apakah aku harus menghapus blog ini saja? atau saya mengisinya dnegan puisi dan catatan yang lain? uh, siapa yang mau baca tulisan-tulisan saya.
atau saya akan menulis seperti diari di sini.
di luar hujan. siang ini hari selasa. aku dari kampus.. bla..bla.. bla.. haruskah aku menulis semacam ini, sementara saya adalah seorang pemalas mencatat sesuatu sifatnya monoton dan harian.
sial gara2 baca blog http://sekelebatsenja.blogspot.com/ yang saya bawa pulang kemarin saya menjadi ingin menuliskan sesuatu sepanjang hari. tapi apa?
atau saya akan menulis cerita singkat di sini?
masalahnya siapa yang akan mengunjungi blog saya ini?
dasar pemuda yang gampang kalah saya. untung saya tidak hidup 80 tahun yang lalu.
tapi kalaus aya hidupdi zaman itu apakah saya akan memikirkan hal ini juga?
Senin, 25 Agustus 2008
Gerobak yang Mengusung Beragam Makna
Penerbit : Akar Indonesia
Penulis : Martin Aleida
Yanusa Nugroho
Frans Nadjira
Shiho Sawai
Gde Agung Lontar
Harris Effendi Thahar
Mezra E. Pellondou
Hery Sudiono
Fahruddin Nasrullah
Zulkarnain Ishak
Kiswondo
Tebal : 182 hal +xvii
Harga : Rp 38.000
Agustus ini, Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbitan Yayasan Akar Indonesia kembali terbit. Edisi yang ke sembilan ini berisi delapan cerpen dan tiga esai sastra. Dibuka dnegan cerpen Pohon kunang-konang karya Frans Nadjira seorang penyair, cerpenis dan pelukis. Martin Aleida menulis cerpen Ratusan Mata di Mana-mana yang sekaligus menjadi judul dari JCI kali ini. Martin menulis cerpennya seperti sebuah catatan harian yang mendiskripsikan perihal-perihal sederhana tentang manusia. Martion seperti mendedahkan biografinya dengan narasi yang lembut dan tokoh-tokoh nyata. Sebuah cerita yang menggambarkan ketika ia bekerja di Majalah Tempo.
Mezra E. Pellondou, menulis cerpen Praiyawang yang berseting Indonesia Timur, latar yang menjadi sentral hampir di semua karya-karyanya. Sebuah khasanah yang manis dan mungkin kurang banyak tergaraps elama ini. disusul pula oleh Gde Agung Lontar dengan cerpen Wayang Bangsawan yang mengambil tema Melayu dengan tokoh klasik, Hang Tuah.
Ada Fahrudin Nasrulloh dengan Tiga Kisah dari Giri, sebuah upaya elsploratif untuk memunculkan tokoh-tokoh yang ‘terpinggirkan’. Tentang seorang Sunan Prapen yang tidak diketahi banyak orang. Seorang tokoh yang kembali dihidupkan lewat imajinasi ataukah dia hanya hidup dalam imajinasi si pengarang, saya tak tahu. Dalam khasanah islma Jawa semacam ini Fahrudin memang memiliki referennsi yang lumayan kuat.
Ada Hery Sudiono dnegan Perkabungan Arloji-nya seorang penulis dan pelukis dari Kalimantan Selatan yang menetap di Yogyakarta. Disusul yanusa Nugroho dengan cerpennya yang luamayn pendek tetapi manis dan cukup menegangkan yang berjudul “Kupu Malam, Anjing Kuris dan Udin”, lalu ditutup oleh cerpen Zulkarnain Ishak, Derap Kaki Ribuan Kuda yang mencoba mendongengkan kita dengan fakta-fakta yang dibalus dengan kestuan bahasa yang halus.
Tiga esai berikutnya melengkapi Jurnal cerpen indonesia ini. dimulai dari Haris Efendi Thahar yang menulis tentang Jejak Sejarah PRRI dalam Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Soewardi Idris. Disusul oleh Kiswondo Seorang Peneliti di Uiniversitas Sanata Darma dan terlibat di beberapa LSM yang menulis Sastra Bersaksi: Korban Peristiwa 1965 dalam Empat Cerpen Indonesia yang merupakan studi awalnya yang berpatokan pada 12 cerpen. Hanya saja dalam tulisan ini dia hanya mengambil titik pada empat buah cerpen. Selanjutnya ditutup oleh Shiho Sawai dalam sebuah esainya Potensi Teleopoiesisdan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Burih Migran Perempuan di Hongkong. Sebuah kajian menarik dari seorang Shiho yang melihat Buruh Migran Perempuan Hongkong (BMP-HK) sebagai sebuah komunitas sastra yang perlu diperhitungkan keberadaannya.
Demikianlah. Sebuah percampuran rasa yang manis dari ketercampuradukan gaya dan tema dalam kesastraan indonesia.
Dalam pengantar redaksinya, Raudal Tanjung Banua menuliskan bahwa edisi merupakan “keberagaman yang konkrit dari teks serta memperlihatkan fenomena di sekitar sosiologi sastra melalui tiga esai yang dimuat.” Dalam pengantarnya, Raudal menggambarkan kegamangan atas pembicaraan sastra yang lebih banyak menyentuh masalah sosial pengarangnya nitimbang perhatian pada estetika yang diusungnya.
Dan Raudal mencoba menawarkan sebuah analogi untuk membaca cerpen Indonesia yang diandaikan dalam gerak sebuah gerobak. Teori semacam apa pula itu? saya rasa anda harus membacanya sendiri dan menikmati bingkisan manis ini di ruang yang cukup pribadi. Setelahnya anda bisa menerima sekaligus menolak. Bukankah begitu hakikat keberangaman?
Untuk pemesanan Jurnal Cerpen Indonesia atau buku-buku terbitan Akar lainnya bisa melalui kontak 08122729237
Selasa, 29 Juli 2008
tubuh api
tubuh api
tubuhku adalah api
yang berhadapan denganku
bertarung dengan matahari
diriku menyala-nyala
setiap peristiwa, setiap ingatan
terbakar di kepalaku yang sempit
dadaku telah lama hangus
tulang-tulangku adalah gugusan kayu api
darahku sumber kemarahan
yang terpancar di setiap kata dan tindakan
jika kau menatap mataku
kau akan terbakar oleh amarah
yang tercipta dengan sendirinya
sampai kau tak ada dalam diriku
tubuhku adalah api yang penuh marah;
jari-jari, kuku-kuku, rambut,
leher,cuping telinga, hidung, gigi dan lidah
anak-anak api yang menyambar-nyambar
kau yang bermain-main dengan korek dan minyak
bersiaplah untuk terbakar
tinggalkan aku sendirian
atau kau akan musnah bersama diriku
api ini adalah dendam
yang tersusun sedemikian rupa
betapa tipisnya batas antara rindu dan dendam
betapa dekatnya sayang dengan api
kau akan terbakar
setiap kali menatapku, kini
januari 2008
Rabu, 23 Juli 2008
sajak jalan lapar
aku tumbuh dari rasa lapar
serupa jalan, menelan apa saja
dan tak pernah memulangkannya
apakah aku yang semakin tumbuh besar
ataukah jalan ini yang semakin tua
dan kurus, hingga belokan dan tikungan
bukan lagi rahasia tersembunyi?
kelaparan memulangkanku ke pangkal jalan
aku merasakan tubuhku kuyup
kehilangan. begitu banyak yang diambil dariku
dan tak pernah dipulangkan
kenangan, pohon-pohon tinggi
yang menutup beranda serupa belantara
tempat sembunyi para bocah
dari kehilangan dan keberangkatan
pulang kampung
aku tertidur seperti tenggelam
dalam pusara ingatan
segalanya seperti dibangkitkan
cenayang dan jin laut
serupa tenung, menghapus segala kenang
di sini karang sudah lama padam
dan laut serupa silsilah
terus menukik dan menghantam apa saja
ingatanku tumbuh
seperti batang jati
di petak ladang yang hilang jalan
dalam tidur kutemukan
wajah-wajah tak kukenal
dalam kecemasan yang sama
mereka menghitung dunia dari dalam
dompet mereka yang robek
tangan mereka hitam oleh getah gambir
yang sepanjang hari mereka akrabi liat licinnya
keringat mereka seperti hujan di dadaku
lalu tumbuh sebatang jagung dengan
malas dan malu-malu
mereka menatapku dengan asing
dan kesunyian yang dalam
di mata mereka tumbuh lampu-lampu
dan bendera asing, lalu bermunculan
banyak iklan; motor, celana-baju baru dan
lebaran yang lewat dengan sia-sia
handphoneku berdering, mereka
menggigil semakin nyaring, menyanyikan
amsal-amsal kota jauh
tentang selingkuh yang sentimental
serupa ratok, yang didendangkan begitu murung
aku terjaga dari tidurku yang singkat
tapi mereka, yang bermain dalam mimpiku
tak bisa pulang
mereka bergelantungan di pohon nilam, di batang
durian, di cabang rambutan dan seluruh akar tubuhku
dari jauh, mobil-mobil panjang dan besar
menggilas mereka, sampai tak satu pun
bisa mengingatnya. yang lain bergelantungan
lalu menghapus dirinya dari pohon silsilah
aku tak tahu, batas antara tidur dan jaga
diam-diam merasa kalah dan tak hendak
bangun lagi.
lansano, oktober 2007
Rabu, 09 Juli 2008
sajak jelek
di kota ini, kau mungkin mengingatnya
sedikit saja
di tempatmu berdiri barangkali
keringat mereka jatuh, mengais tanah dan
rantai panjang yang berat
menyeretnya, seperti melepas nasib buruk
dan hidup yang terasa sia-sia
bisa jadi kau lupa
dan tak perlu mengenangnya
sebab hidup tak pernah mundur
kita cukup mengenangnya sebagai sebuah sejarah
kota dan tanah jajahan
di kota tambang, yang kau tak bisa singgah
kau akan mengingatnya
menyeret tulang dan nasib
menggaris tanah dengan rantai yang berat
dan anak-anak menyorakinya
sebentuk hiburan kampung koloni
“orang rantai, orang rantai…”
kau ingat sepotong-sepotong
padahal barangkali, di tempatmu berdiri
keringatnya jatuh, tubuhnya jatuh
ada doa yang gagal dikirimkan
di kota tua, orang-orang mengingatnya
sebagai sebuah sejarah
yang tercatat dalam panduan pariwisata
dan dari tempatku berdiri, sebagai pengelana
dan orang buangan, lamat kudengar
suara bisikan yang seperti mengejar dan memburu
setiap langkahku
“orang rantai, orang rantai…”
Yogya-Padang, 2007-2008
Rabu, 25 Juni 2008
Jumat, 13 Juni 2008
Sepasang Maut
Sepasang Maut
kami dikejar-kejar bayangan laut yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
di mana peristirahatan paling nyaman
jika kamar begitu menakutkan?
kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi
tak hendak menjadi saksi
karena inci demi inci tubuh kami mulai mati
oleh haru dan rasa nyeri
waktu beringsut
menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga
: bau mayat dan barisan panjang pusara
begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana
menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,
tak ada yang berkehendak mengambil cangkul
kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan
banyak peristiwa penting dan tak penting lainnya
menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong
mengalirkan larva dan pijar api
begitu-begitu saja.
sebagian kami memilih lembur
sebagian meminum obat tidur
sepasang pengantin lelap oleh haru biru
subuh begitu bening
penuh dengan rencana dan harapan
pagi semestinya suka cita
yang riang. di mana matahari membuncahkan berkah;
kami bekerja dan anak-anak sekolah
ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun
bahkan sekadar ingatan pun betapa enggan
ia datang tanpa mengetuk pintu
menggantungkan kematian di tiap dinding
sejak kini, rumah menjelma hantu
kamar serupa maut yang mengintai siapa saja
tempat yang paling aman sekalipun
menyimpan kesumat dan bara dendam
oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut
mengintai kami dan penjuru kota
kami dikejar-kejar bayangan laut
yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
Yogyakarta, 30 Mei 2006
Minggu, 01 Juni 2008
sajak
pada keberangkatan terakhir
terasa riuh benar suara rumah
menyanyi di gendang telinga
matahari tengah menghabiskan pelurunya
hingga kota melepuh dan telanjang
seorang lelaki menempelkan sisa gerimis
di dinding stasiun
"selamat tinggal kesepian." teriaknya
dengan riang
stasiun tampak muram
orang-orang serupa penziarah yang menunggu
keranda.
"kubawakan kota untukmu, kekasaih
yang kukaitkan di kantong celana."
jerit seseorang yang lain, terlebih ringkih
betapa malang, siang yang sesak
nafas dan sendirian
setiap kata adalah kemuraman
yang kurang ajar
dan kemelaratan menorehkan
keberangkatan begitu saja
"akan kucium bacin keringatmu, ayah."
jerit yang lain tak mau kalah
para penumpang saling merebut mimpi
berharap jaga melemparkannnya ke depan pintu
dan seorang yang berbahagia itu
merasa menuju pusara ibu
diam-diam telah disiapkan untuknya
sebuah keranda
dan penziarah telah menunggu
di depan pintu.
rumahlebah, yogyakarta, 2006
sajak indrian koto
/a
dengan sebutir kampung halaman
kutanam di dalam dompet
kutunggangi peta usang
yang terhampar di tanah lapang
kukendarai laut
hingga rumah tampak melepuh
kurapal jejak pendahulu
yang tertinggal bersama buih
hingga tubuhku menjelma laut
melulu biru
bukan laut ini benar yang keramat
hanya pelayaran sedikit nakal
memutar arah dan kemudi
juga angin liar yang mencabik cadik
kutemukan kampung seberang
tanpa jejak pendahulu
tanah yang semerah darah
serupa kafan di kubur para leluhur
panji-panji mengepul mengingatkanku
pada tungku ibu
yang asapnya memanggilku pulang
sebutir kampung halaman
yang kutanam di dalam dompet
terus saja tumbuh; sepetak ladang, sederit ranjang,
sisa batuk bapak pada masa kanak
yang tertempel di kamar mandi
layangan mengapung di atas rumah, bau kopi
dan daun nilam
usap lagi punggungku dengan tanganmu, ibu
sampai melepuh
sampai yang tertinggal hanya sebaris kantuk
dan aku menemukan tubuh
mengapung di tanah asing
/b
di mana selatan?
barangkali matahari dan cuaca
bersepakat
menipuku dengan arah angin
hingga aku lupa
masa kanak yang berserak
aku belajar menjala mimpi
memungut dahaga, meracik rindu –serupa bumbu
dan kesiur angin hanya nafas ibu
/c
alangkah sukar merapal jalan
pulang hanya sepetak ingatan
yang mulai rimbun
aku mendaki samudera
membaca sebiji pasir sebagai isyarat
leluhur
di sepanjang pelayaran
pulaupulau tenggelam
hingga tak sebiji pun kutemukan bau rumah
dan amis pantai
merentang layar, aku seperti menziarahi
kampung halaman yang bertumbuh
di dalam dompet
duhai, di mana rumah, sepetak
ingatan masa kanak?
rumahlebah, 2006